Di bahu anjungan, Ratu Maria melepas tali tambat yang melilit di pasak Dufa-Dufa. Pelan-pelan ia menjauh, memunggungi kota berkelopak cahaya. Buih pecah di kulit air, mematuhi titiran yang berputar ke utara. Kapal itu membelah badai, memotong gelombang yang dihantar murka cuaca.
Muatan Maria rupa-rupa; ada sepeda, balita, kopra, dan seorang pemuda yang ikut serta dalam rombongan Bank Indonesia. Dari dermaga ke bibir selat, kapal terus bergerak, melintasi Hiri dan beberapa dusun yang senyap. Pemuda itu, pemuda yang menempati kabin sempit berisi tiga kepala itu sedang sibuk memuja jarak di buritan.
Perjalanan itu menembus malam, menyajikan enam jam paling siaga sebelum tiba di Pelabuhan Dama. Penjaja nasi kotak memijak tangga, memikul tubuh dan banyak semoga ke segala telinga. Subuh sebelum azan, ada ikan, ayam, udang, telur, dan pisang duduk bersama di dalam keranjang. Kuning atau putih, panas atau dingin, harganya sama saja, sama rata.
Di koridor kiri, segelas teh hangat berpindah dari keranjang ke bangku panjang. Isinya meluap dari gelas, turun ke lambung pemuda lemas. Namun, gelas kosong tadi tidak sendiri. Ia jadi penengah antara pemuda dan seorang penjaja. “Kau anak siapa?”, kalimat itu melompat dari lidah perempuan setengah baya.
Dama masih gelap, bahkan terlalu pekat untuk sekadar mencerahkan sepasang mata yang menuntut jawaban. Di tangan pemuda, nasi-ikan tinggal separuh, sedangkan teh telah tandas. Namun, perempuan tadi menolak pergi. Ia duduk membatu di sisi kiri, mengunci keranjang dengan lengan, menunggu balasan dari intonasi ke sekian.
“Aku putra Ibu Tini, tinggal di Jalan Rambutan.”
Lengan ganjil tadi berganti posisi. Kini jadi genap, terkunci oleh sepuluh jemari, mendekap leher asing kaku dan sesekali menepuk-nepuk punggung lapang nan linglung. Siapa gerangan perempuan ini? Perempuan kerudung merah yang suaranya jatuh di telinga kiri.
“Aku Marni, keluargamu!”
Pemuda itu kian bingung. Bagaimana bisa Maria mampu memuat segala benda, termasuk skenario perjumpaan yang tiba-tiba? Pun, bagaimana bisa naskah pelayaran dari Dufa-Dufa ke Daruba menyisipkan paragraf menemukan keluarga di pesisir Dama?
Jika bukan cenayang, penulis naskah ini tentulah seorang mahapujangga. Memilih tubuh Maria dan menempatkan dua nama asing yang terputus selama puluhan tahun bukanlah perkara mudah. Padahal, Dama tidak semenarik lokasi-lokasi di dalam sinema.
Kendati begitu, di balik gulita dan tangga pipih tanpa penyangga, semesta menghubungkan peristiwa yang mengaduk-aduk isi kepala. Dari dermaga ke tangga, teh ke saling toleh, keranjang ke pelukan, hingga kerudung merah ke garis darah; keniscayaan ternyata begitu sederhana.
Maria tidak hanya menebar buih di laut, ia juga menjahit jejak dua manusia yang saling lupa. Maria, kapal putih itu lebih dari sekadar bahtera, ia adalah jelmaan kata kerja. Umpama tongkat sihir, semustahil apa pun, jika mantra diurapi tuah, genaplah perkara. Barangkali, Marni dan Maria adalah sepasang pemeran utama, bukan Dama, Daruba, atau pemuda yang kehilangan silsilah.
Morotai, 24 Mei 2025.

Morotai, North Maluku | ©2025 Travendom
•
Musik untuk perjalanan ini:
Psalm 135 — Maria Coman
•
Terima kasih:
Kagōunga, Bank Indonesia Perwakilan Maluku Utara, Heri Susanto, awak kapal Queen Mary, Marni, Reza Kusman, Moloka’i Hotel Morotai, Abdullah Ute, Fandi Noval, Nurjanah Kasim, Albert Timothy.
