Kamis petang, 21 Juni 2012, di bilangan Harmoni, Jakarta Pusat, setelah laporan-laporan selesai, layar komputer berubah jadi wahana hiburan. Dari peramban, jendela iklan mengadang, mengintimidasi, “Apa Pekerjaan Favoritmu?”. Tanpa pikir panjang, kolom jawaban lekas diisi “Travel Writer,” lantas diunggah bersama alamat surel sebagai syarat kelengkapan.
Pagi buta, ketika kelopak mata masih melekat, ponsel berdesis, membawa satu kabar di kotak masuk. “Selamat! Anda terpilih mendapatkan 1 tiket konser Kelas VVIP.” Tidak, tidak berhenti di situ. Selang beberapa menit, pesan serupa berdenting di baki notifikasi. Bagaimana tidak, kemarin, jawaban itu dikirim menggunakan dua akun surel berbeda, oleh satu orang yang sama. Senang, bingung, takut.
Malam hari sepulang kerja, rute berubah dari Salemba ke Istora. Di meja loket, identitas dan jawaban divalidasi. Tiba-tiba sebuah caddy—kendaraan khusus naratama—mendekat, menjemput sepasang remaja yang harap-harap cemas. Dua pendamping melompat turun, mengulurkan tangan, menuntun naik ke bangku tengah. Mobil bergerak membelah lautan manusia, menuju bibir panggung utama. Sebentar, apakah secepat ini?
Gelang, suvenir, nasib baik, dan pelayanan itu terlalu berlebihan. Semakin lama, semakin sulit dipercaya. Bagaimana bisa seorang budak korporat dilayani sebegitu rupa? Mimpi jenis apa ini? Persetan dengan satu kepala sibuk yang lugu, dunia punya urusannya sendiri. Tiba-tiba suara teriakan bergemuruh, bergema, penuh.
“Hello, selamat malam Indonesia!” Jason melambaikan tangannya, menyapa Jakarta. Lampu-lampu sorot menyala, menembak langit, gedung, tanah, dan seseorang yang masih menolak percaya. Dari panggung yang hanya sejengkal ke dada, ada penonton yang sedang belajar menikmati pertunjukan konser musik pertama dalam hidupnya.
Jendela iklan itu, yang merangsek tanpa salam, yang tiba-tiba memaksa atensi dari seorang buruh tiket maskapai di jantung ibu kota, ternyata merangkap jalan menuju ke pengalaman baru. Pengalaman yang tidak pernah masuk dalam daftar seorang narablog perjalanan sebelumnya. Sejak saat itu, jendela adalah jalan, pintu, dan penentu. Multidimensi, multitafsir.
Hello, Jason! Inilah takdir. Jangankan satu, kalau bisa dua, mustahil hanyalah perkara kata kerja.
Jakarta, 30 Juni 2012.

Ilustration: Jason Mraz Live in Concert, Bridgeport, USA 2024
•
Musik untuk perjalanan ini:
Best Friend — Jason Mraz
Play on Spotify
•
Terima kasih:
blibli.com, Nancy Sulikto Gunawan, Nova Panggabean, Rahmah Rezwitha Masuku, Henry Dunan Sirait, Tjia Oh Ang.