Kenalkan, inilah dua tokoh ajaib yang menjadi teman dalam perjalanan ke Baubau. Adalah Lusi, perempuan sensitif yang terlahir untuk memusuhi kakak kandungnya sendiri. Serta Ezra, gadis Toraja yang lebih senang dipanggil “Mutiara dari Papua.”
Mari sepakat melupakan stigma bahwa pengabdi ilmu hidupnya pas-pasan. Kata siapa mahasiswa tak bisa jalan-jalan? Kami buktinya, bahkan menjadi contoh jika berbohong demi plesiran adalah halal, selama tidak bocor ke telinga Rektorat.
Selamat Datang!
Pesawat baling-baling melayang rendah ke Pulau Buton, meninggalkan ruang udara Sultan Hasanuddin di Makassar. Saya tak mengingat apa-apa, selain benturan keras ketika mendarat. Selamat datang di Betoambari!
Tiga pembohong dijemput Martinus, seorang pastor yang bekerja di Gereja Santo Paulus, Baubau. Kami mengenal Martinus dari Lusi, yang tak lain adalah mantan jemaatnya ketika bertugas di Makassar dulu. Pagi itu, setelah disambut dengan pelukan erat, Martinus langsung terjebak ke dalam perjalanan ini.
“Kita tunggu bagasi dulu, ini mungkin agak lama. Petugas harus mengambilnya secara manual dan mememeriksanya satu-persatu. Persis seperti pendataan presensi di sekolah.” Martinus bergurau. Tahun 2008, bandara ini tak lebih mewah dari balai desa di Pulau Jawa. Gedungnya sederhana, tanpa penyejuk udara, detektor, sabuk bagasi, dan merawat toilet pesing yang menjadi sarang lalat beracun.
Dari bandara kami bergerak ke sebuah kedai di kawasan Kamali. Makanannya enak, bersih, murah, pelayannya sopan sekali. Bahkan, kami disuguhi ‘sulap-sulip’ ketika selesai. Petugas kasir tampak kebingungan, kalkulatornya mendadak mati. Tak ayal, transaksi dilakukan di bahu jalan, sebab mesin penghitung baru menyala jika dijemur matahari.
Martinus memandu kemudi, mengarahkan mobilnya ke sebuah penginapan yang tak jauh dari sana. Seorang pria menyapa tanpa ekspresi. Kami menempati dua kamar di lantai atas, yaitu sepasang bilik yang menjadi bencana di perjalanan ini.
Tak ada yang istimewa, ruangan ini diisi seperangkat meja rias, cermin kusam, dipan kuno, kelambu, dan lantai papan yang berisik ketika dipijak. Satu jam setelahnya, dua penakut memboyong segala barang ke kamar saya.
“Ada yang aneh dengan kamar itu. Lagi pula, kita tak melihat tamu lain sejak tiba tadi siang. Kitalah satu-satunya penghuni di penginapan ini!” Lusi berspekulasi, diamini Ezra, seorang Kristen fanatik yang tak percaya takhayul sebelumnya.
Kami melewati malam di balkon kecil, mengadu kartu hingga pukul dua. Tak lama, tiga anjing melolong ketakutan dari seberang. Tiba-tiba lantai bergerak, merespon beban yang berjalan mendekat. Lusi mematung, telapak tangannya berkeringat. Ezra bergegas merapikan perkakas di atas meja, lantas mengutuk lelembut yang salah alamat. Kalah, tiga penakut kini bertobat di dalam selimut.
Tanah Wolio
Ini pagi pertama di Baubau. Umar, seorang pegawai dari Kantor Pariwisata datang menjemput pukul delapan. Sebagai penduduk lokal, Umar jualah yang mengatur segala jadwal untuk kunjungan ke beberapa instansi dan sekolah. “Ini pertama kalinya ada kampus pariwisata dari Makassar yang datang promosi ke Baubau,” katanya.
Agenda berjalan lancar tanpa hambatan. Setelah usai, dia mengantarkan kembali ke sarang dedemit. Martinus melayangkan sebuah pesan sebelum kami terkapar.
“Besok subuh Pastor ajak ke pantai dan situs sejarah, pulangnya kita diundang bermalam di gereja. Gimana Aiya, kau bersedia?” Lusi mengulang isi pesan, menunggu jawaban dari seorang muslim yang jarang sembahyang. “Tentu saja!” singkat sekali.
Enam pagi, Martinus tiba dengan minibus biru berlogo salib di kedua sisi. Kami menuju Nirwana saat matahari belum sadarkan diri. Di lajur yang tak lagi terang, Martinus menginjak rem tiba-tiba. Sesuatu terjebak di kolong mobil setelah terjadi sebuah benturan. Kami melompat turun, mencari segala kemungkinan. Nihil.
Pantai telah selesai, kami berpindah ke dataran tinggi. Mobil dipandu ke Benteng Wolio, sebuah jejak kebesaran Buton di masa yang lalu. Luasnya 23,375 hektare, sehingga tercatat sebagai benteng terluas di dunia menurut Guiness Book Record.
Benteng ini disesaki masjid agung, makam raja-raja, serta museum budaya Wolio. Pada sebuah obrolan di ruang tengah, seseorang mengajak saya ke lantai dua. “Yang lain tunggu di sini, ya,” pintanya.
Di loteng ini, saya disambut almari kaca yang menyimpan koleksi baju, kapak, parang, gelang, badik, tombak, dan segala alat perang. Pria ceking itu memandu saya ke satu dinding yang disanggah silsilah para punggawa. Telunjukknya menuntun mata ke sebuah nama yang tak asing di telinga: Sultan Mandar Syah.
“Buton dan Ternate pernah berperang karena adu domba Belanda. Hingga suatu ketika, Pangeran Ternate datang melamar putri bangsawan Buton. Sejak saat itu seluruh dendam dihapuskan, mereka menjadi saudara dan mesra sampai sekarang,” jelasnya.
Kunjungan itu harus berakhir sebelum siang. Kami melaju ke sebuah masjid di pusat kota, mengejar ibadah Jumat yang berlangsung sepuluh menit lagi. Di sujud terakhir, saya menuntut sehat bagi tiga nasrani taat yang menunggu sabar di luar sana, di mobil bertanda salib yang dijaga budak-budak akil balig.
Tuhan Bercanda
Dari masjid kami kembali ke gereja. Bukan pergi berdoa, melainkan pulang dan tinggal di sana. Para jemaat menyambut ramah, lantas memandu jalan menuju asrama. Saya berbagi kamar dengan Albert, rohaniwan muda yang dua bulan lagi menganyam pendidikan pastoral di Italia. Ia menyerahkan alat mandi, selimut, sajadah, dan kompas sebagai penunjuk kiblat.
Di ruangan ini saya bersujud menyembah Allah dengan Yesus yang menggantung di atas kepala. Barangkali benar jika Tuhan memang gemar bercanda. Lupakan promosi kampus, di perjalanan ini saya belajar toleransi dan menemukan banyak orang baik. Ketika santap malam tiba, kami duduk meliingkar dengan seluruh pengelola gereja. Martinus melihat kecemasan ini, ia memanggil bibi berkerudung putih.
“Jangan takut, semua ini kami yang masak. Pastor membayar kami untuk jasa boga bulanan. Mari makan sama-sama!” Bibi tak datang sendiri, ia tiba bersama empat muslimah lain dan seorang lelaki yang memikul peci di atas kepala.
Kami tinggal dua malam gereja ini untuk menunggu jadwal pelayaran ke Makassar lusa nanti. Esoknya, Martinus mengajak kembali ke anjungan Kamali. Dari balik bundaran Naga, seseorang memberi kejutan, menutup mata dari belakang.
Dialah Desi, kawan SMA dulu. Setelah lulus, ia memilih kembali dan menetap di kota ini. Ini pertemuan pertama sejak tiga tahun lalu. Berbekal angkot milik kekasihnya, Desi mengajak kami keliling kota. Tak puas, sepasang gelang dan berbagai penganan diserahkan sebagai tanda perpisahan.
Pamit
Inilah malam terakhir, malam yang membenci kata selesai. Martinus dan perangkat gereja mengantar kami ke pelabuhan. Usai pamit, suasana berubah kelam ketika dua penumpang menjadi korban penikaman. Untuk alasan keamanan, Martinus meraih bawaan, kemudian bernegosiasi untuk mengawal kami ke geladak.
Seharusnya ini jadi air mata terakhir, tepat ketika melepas Martinus setelah semboyan berlayar dibunyikan, tetapi keliru. Di bawah sana, tangan-tangan melambaikan perpisahan, merestui kepergian yang entah kapan kembali datang.
Kapal bergerak menjauh, meninggalkan dermaga yang penuh doa-doa. Dari ranjang tua yang sempit, saya berjanji untuk mengingat perjalanan ini sebagai dosa yang paling manis.
Dua tahun kemudian seorang kawan menulis pesan, mengabarkan kehilangan, dan meminta doa untuk jiwa yang mendadak pergi. Desi telah pulang ke surga, meninggalkan kenangan yang ditenun oleh kebersamaan yang rupa-rupa. Inilah air mata terakhir dari perjalanan ini. Air mata yang diberikan untuk perempuan pemalu, yang diam-diam merawat sakitnya sendiri.
5 Comments. Leave new
Matur suksma, bli Pande. Iya, Tuhan memang jenaka.
Tiba-tiba pintu kamar didorong, lalu muncul dua perempuan penakut beserta bantal dan selimut. Semacam sia-sia memesan dua kamar sekaligus. Anyway, terima kasih, kak.
Aku membayangkan pikiran Aiya saat mendadak 2 orang dari kamar sebelah merengsek masuk ke kamar. Kalau aku di posisi itu malah sangat bersyukur, karena gak mesti mencekam sendirian haha.
Btw, turut berduka atas berpulangnya Desi.
Oh no. Is that my sister?
jng bilang kalo yg di ats si cantik desi ng p fans dlu….hahaha
yah…bagus jg kalo bakat cerewet itu bisa mnghasilkan sswtu yg positif dlm bentuk tulisan,,, (terharu…hiks,,hiks,,)
Anyway ByTheWay Busway,,,tulisan'y bguus, crta'y menarik, jd pngen ke Bau Bau… (-___-)
ditunggu postingn selanjut'y…^^