Masa lalu adalah satu hal yang saya hindari dalam hidup ini. Perkara paling menakutkan ialah tentang kenang-kenangan. Memandang bangunan tua atau meraba dinding berlumut di benteng kolonial hanyalah beberapa di antaranya. Kadang saya berbohong ketika mengagumi kisah sejarah demi menghormati para tetua.
Pulang ialah kembali ke beberapa tahun yang lalu, tidak peduli bagaimana rupa bandara baru, atau seberapa banyak perahu di laut biru. Penerbangan ini seperti perjalanan untuk pergi ke masa lampau. Tidak lebih.
Lihatlah orang-orang itu, mereka menghabiskan jutaan rupiah untuk datang ke sini dan menjadi korban dari target promosi. Bapak menginjak pedal, mengacuhkan saya yang sibuk mengumpati sampah visual. Kecepatan ini cukup untuk menghitung pepohonan, mengagumi gunung, atau menyapa dermaga tua yang masih sama seperti dulu, tak berubah walau seujung kuku. Hijau berganti merah, kami berhenti di persimpangan Istana Raja. Mobil dan motor berbaris memanjang, kawanan burung gereja melintang di atas tiang, hinggap menikmati kebebasan.
Pada sebuah perempatan di pusat kota, satu toko buku tua masih berdiri di sana, kokoh memunggungi area pecinan lama dan bekas bioskop era Hollandia. Penjual suvenir besi tempa juga masih berjaya, berjejer di atas selokan yang disanggah setapak berkapasitas dua kepala. Siapapun yang pernah ke kota ini, pasti sepakat untuk bertandang sekali lagi. Dulu, pada sebuah penerbangan ke Batavia, seorang pramugara juga pernah mengakuinya. “Apa pun yang ada di kotamu, kini telah berpindah ke dalam kepalaku,” katanya.
Bagi saya, meriam besar di ujung bukit penyerangan bukanlah peninggalan prasejarah. Puluhan tahun silam, dari gundukan yang dilapisi rerumputan lebat, saya menjadi pendosa dan melanggar janji pada orang tua. Setiap hari sepulang sekolah, kawan jahat rutin mengajak ke tempat yang sama. Kami mencari kardus dan membaginya dengan adil, lantas melesat turun secara bergiliran. Kala itu, tak ada janji yang perlu diingat, termasuk ikrar pada Ibu yang mewanti-wanti untuk menjaga seragam agar tak kotor dan lusuh.
Meriam-meriam itu tak lebih dari pemantik kenangan yang menembakkan ingatan masa silam. Ingatan tentang kebebasan, kegembiraan, atau teriakan teman-teman yang berlarian hingga jatuh dan menangis kesakitan. “Harus berapa kali kuperingatkan untuk menunggu di gerbang sekolah?” Dengan darah yang mendidih di ubun-ubun, Bapak menghardik saya di bahu pedestrian, titik akhir pemberhentian.
* * *
Seorang musafir pernah menulis sangat runut tentang kota ini. Langit biru, laut, intonasi, bahasa, serta legenda danau keramat telah membuatnya terpikat. Konon, cincang tuna mentah, irisan kenari, dan cabai pedas yang diberi perasan jeruk kini menjadi makanan favoritnya.
Ia terlalu bangga pada kota kecil ini, bahkan pernah meneteskan air mata di balkon Istana Raja. Ia jatuh hati, kasmaran pada sebuah kota, memelas cinta pada rahim pohon cengkih tertua di dunia.
Sekarang semua telah berubah, era bergulir ke kordinat yang lebih cepat dan memanjakan mata. Zaman sudah melahirkan para ahli lensa yang memilih bertutur lewat rupa dibandingkan kata-kata. Tangan-tangan itu cermat membidik segala yang memiliki nilai dan suara. Hasil yang telah diseleksi lalu dipotong sama sisi, kemudian dipoles menggunakan pemanis dan aturan saturasi, sebelum ditampilkan di jejaring sosial berbasis visual. Saya melihat semuanya, ini hebat sekali!
Aspal basah berliku, ranting-ranting tua, matahari, awan, bintang, makanan, dan apa pun yang ada di dinding lini masa semuanya menakjubkan. Para marketing menyebutnya sebagai promosi berbasis peradaban. Sebuah strategi yang jauh lebih rasional ketimbang menempatkan sepasang wajah kaku pada spanduk “Selamat Datang!” yang nyaris ada di setiap gerbang kedatangan.
Dua minggu setelah hibernasi, saya mengunci pintu, meninggalkan rumah ketika terik sedang berdansa di angkasa. Dikawal kawan rasa saudara, kami menuju ke selatan. Barangkali ini yang disebut sejarah, kisah tentang seorang perantau yang pulang untuk negerinya. Inilah upaya memanggil masa lalu lewat penjelajahan pertama sejak tiga belas tahun, dan menjadi salah satu hari yang dilingkari dalam kalender hidupnya.
Kami tiba di struktur berbentuk kura-kura tanpa atap. Sebuah dinding perang terapung di Republik Garuda. Menurut literatur, tempat ini dibangun Lisboa untuk menghalau serangan dari bangsa “Telenovela”, sebelum jatuh ke tangan negeri “Seribu Kanal”. Tembok-tembok itu seperti melekat di atas tanah, anggun dengan fondasi yang dilapisi suket lima senti sebagai penangkal lidah matahari.
Saat laut pasang, struktur ini tampak mengambang dari dermaga di pulau seberang. Sekali lagi, ini bukan basis pertahanan perang. Saya mengenangnya sebagai tempat latihan berenang. Persis ketika pelatih meniup peluit panjang, kami meloncat bergantian, satu orang satu putaran.
Sewaktu singgah di Sunda Kelapa saat hendak pulang ke sini, seseorang mendaratkan pesan sebelum jadwal lepas landas. Tanpa basa-basi, ia seperti menginterogasi.
“Kupikir kau sudah tak ingin kembali. Angin apa yang mengantarmu kali ini?”
“Rumah.”
“Kau bilang tak ada lagi yang harus diperbaiki. Aku masih mengingat kata-katamu.”
“Aroma almari, cerita-cerita lama, dan wangi seprai tua yang menarik kaki untuk datang.”
“Bagaimana dengan janji terakhirmu?”
“Jangan cemas, dendam ini sudah hilang. Setidaknya, tak ada lidah yang harus dipotong. Saya pulang untuk mengenang, mengingat, dan memaafkan sebisa mungkin. Hanya itu.”
“Kirimkan foto tentang semua yang pernah kau ceritakan dulu.”
“Lihat nanti…”
“Lantas, bagaimana dengan hubungan ini?”
“Sudah selesai.”
* * *
Pulang, kini tentang menemukan kedamaian. Kota ini adalah sebenar-benarnya rasa tenang. Ibarat gasing yang gagah ketika berlari, saya tetaplah gasing yang patuh ketika digenggam. Pulang adalah akhir dari paragraf panjang perjalanan, terlebih ketika rindu memaksa saya menjadi pecandu.
Musik untuk perjalanan ini:
•
Terima kasih:
Adon Acader, Risnawaty Tjan, Zulham Bian, Rini Yusuf, Arie Erffandy, Komang Ayu, Didith Prahara, Helmi Yanuar, Ridwan Dano, Nicholas Tan, Ketut Ardi Putra.
3 Comments. Leave new
Terima kasih ya, anonim.
Berarti wajib baca semua postingan, karena setiap cerita memiliki iramanya masing-masing. Haha
aku mau save ah rekomendasi playlist spotify mu.. haha..