Mudik, sebuah ritual kunci ketika Ramadan menyusut. Pada setiap gerak, banyak rindu yang diam-diam menyusup. September 2009, rindu itu menumpangi satu penerbangan yang tak lazim; Makassar–Ternate via Manado demi Sulham, seorang remaja penggemar Anggun C. Sasmi.
Bandara Sam Ratulangi bagaikan panggung kecil, episentrum titik temu, tempat beradu peran, berpisah, lantas saling memunggungi. Di pintu kedatangan, Sulham mengamati dengan awas, mencari satu wajah yang ia kenali. Malam itu, Sabtu terasa pendek sekali. Kendati demikian, Malalayang berhasil menjadi simpul bertukar cerita dan rupa-rupa. Tidak banyak, tapi cukup.
Sebuah hotel di atas reklamasi memenangi hati kedua remaja. Saat pagi, matahari berpendar di balik jendela, meski bilik tandasnya gelap gulita. Menjelang siang, paragraf di kota ini harus selesai: Ternate menunggu, jemu. Barang kembali dikemas, taksi sudah dipesan. Sulham bergegas pulang mengambil ranselnya untuk terbang ke tanah kelahiran.
Namun, drama selalu punya tempat di setiap cerita. Sulham—teman sekolah, sahabat, pemintal bahasa, yang kerap bersumpah untuk pulang bersama, mendadak astral dan menghilang tanpa jejak. Sakti bukan main.
Di pintu nomor lima, panggilan boarding menggema. Menit melaju, meninggalkan Sulham dan kemampuan anyarnya. Sedangkan di kabin, seorang remaja bertengkar dengan takdir, menyalahkan ini-itu, menggerutu, menekuk bibir bagai siku. Pilot pandu kemudi, mengarahkan sayap besi ke Tanah Gapi.
Hari ke hari, minggu ke minggu, bulan jadi tahun. Sulham mendarat lewat satu pesan singkat, padat sekali.
“Apakah kamu di mana?”
“Apakah kamu masih hidup?”
“Apakah kamu kenapa?”
“Apakah kamu masih marah pe aku?”
Tembok seketika runtuh. Amarah mendadak jatuh, umpama keris yang kehilangan marwah. Pesan itu meluruhkan murka.

Kastela Beach, Ternate | ©2024 Travendom
Mungkin benar, apalah arti perjalanan tanpa bumbu cerita? Sulham, rencana-rencana, Malalayang, pengkhianatan, kursi kosong, dan pertanyaan-pertanyaan konyol di atas adalah manifestasi kehidupan. Bahwa jalan tidak selalu mulus dan lurus. Pulang, bagaimanapun jalannya, hanyalah tentang kembali mengenal diri dan memberi pengampunan. Tidak lebih.
Manado, 20 November 2009.
*Tulisan ini dipersembahkan untuk mendiang Sulham. Istirahatlah dalam damai, kawan.
•
Musik untuk perjalanan ini:
Golden Tears — Moreza
•
Terima kasih:
(Alm.) Muhammad Sulham Bian, Fien Fachruddin, Hamrah, Hakata Tours & Travel Makassar.