
Palacio Beach, Dili
Gigil menyergap tubuh ketika menunggu hujan tandas dari Kupang. Perjalanan ini memasuki hari kedua, hari yang siangnya bersalut debu di separuh kota. Alih-alih reda, petir tikam Bumi kian ganas.
Tangan menyibak ransel, mencari tenun yang ditebus tadi siang. Namun, lain ditanam lain disiram, tenun dicari paspor didapat. Dokumen itu menganga dari saku rahasia. Sekejap, perjalanan ini ganti kordinat.
Besok, apa pun yang terjadi, kaki harus injak Dili.
* * *
Kamis pagi, minibus perak bertolak membawa sepuluh penumpang dari Kupang ke sempadan. Mobil melintasi hutan-hutan cendana yang sejuk dan wangi. Pemandangan ini menghibur tujuh jam perjalanan, melewati Soe dan Kefa sebelum tiba di Atambua.
Di perbatasan Motaain, penumpang diperiksa ketat sebelum menyeberang ke Batugade. Para pelancong digiring ke Servico de Migração dan mengisi formulir deklarasi untuk menebus visa kedatangan.
Usai menembus tiga bingkai detektor, pelawat dipersilakan keluar. Minibus bersalin rupa, perak jadi putih. Tanpa basa-basi mobil beranjak meninggalkan pos perbatasan, menjauh dari jembatan selamat datang. Bem-Vindo a Timor-Leste!
Tak ada lagi cendana, lanskap menjelma bukit-bukit dan samudera. Di balik jendela, Liquica menyuguhkan nirwana. Jingga sapu langit, semesta kian cantik. Mobil melaju, memburu pintu Tasitolu sebelum larut.
Kami mengetuk Dili pukul 20.00, ketika jalanan lenggang dan orang-orang telah kembali ke peraduan. Kota ini umpama perawan yang menggemari kesepian. Riasan Lisboa memancar dalam kombinasi arsitektur Asia-Eropa, serasi dengan lingkungan yang tampak lebih bersih dari Indonesia.
Sopir pandu kemudi hingga ke gerbang griya sederhana di Almirante Tomás. Dari lobi, remaja perempuan mengundang masuk dan menyerahkan lembar reservasi untuk diisi. Di daftar itu, tertera satu tamu dari Indonesia; Evi, asal Jakarta, tinggal di bilik gabungan, menginap selama satu malam. Sempurna!
“Is it possible if I stay at the same room with this guest?”
“Sure, we have three bed left. Would you like to confirm?”
“Yes, please!”
Evi senang beroleh kawan sebangsa. Tak perlu lama, usai bertukar nama, kami beranjak ke kedai India untuk sepiring chapati rasa waswas. Sebab, setengah jam lagi pasti diciduk Polisi.
Negara ini terlalu prematur. Kejahatan bukan isapan, sehingga otoritas keamanan perlu campur tangan untuk menekan tindak kriminal saban malam.
Esoknya Evi kembali ke Kupang, meninggalkan pengembara gila yang sibuk memilih sepeda sewa. Lelaki tua mendekat, menyerahkan kunci, menawarkan irisan mangga dan nasihat juru selamat.
“Pagi tidak seketat malam. Kami juga masih bisa berbahasa Indonesia. Jika butuh bantuan, jangan ragu untuk bertanya,” ujarnya.
Sepeda dikayuh menuju Cristo Rei, sebuah maskot suci yang dibangun 10 kilometer dari timur griya ini. Pedal berputar mengingkari kawasan Motael dan Areia Branca, munuju puncak kudus Fatucama yang bertabur 500 anak tangga di kaki Kristus Raja.
Dari atas, Yesus berdiri memberkati Dili. Tangannya terangkat, menyambut siapa saja yang tersengal napasnya. Namun, siapa sangka jika Kristus gagah lahir dari kepala Mochammad Syailillah, arsitek muslim yang dipilih Soeharto untuk merancang patung istimewa atas bergabungnya Timor Timur ke Nusantara.
Terik makin pekat, salat kian dekat. Sepeda meluncur melewati Kantor Parlemen sebelum tiba di Kampung Alor. Yesus sudah jauh, menjelma masjid dan satu sekolah. Keduanya menjulang di area strategis, dekat dari pusat kedutaan negara sahabat. Jemaat-siswanya dari kalangan diplomat.
Usai berserah, kompas diatur ke jantung kota, melintasi laluan Avenida Salazar, menjumpai Estatua Sebastiao, Port of Dili, Palácio do Governo, dan berhenti di Largo de Lecidere, sebuah taman sederhana dengan layanan internet cuma-cuma. Tiba-tiba gawai berdesis, satu pesan tersaji di baki notifikasi.
“Aku tiba dari Oecusse nanti sore. Bersiaplah, kita pergi makan malam sebelum pukul delapan. Sampai jumpa!” — Zofimo Corbafo, via BlackBerry® Messenger.
Zozo adalah politikus muda, seniman, sekaligus relawan kemanusiaan di sebuah lembaga nirlaba Australia. Kami bertemu setahun lalu pada sebuah pameran seni di Nusa Dua, Bali.
Lupakan Zozo, roda sepeda telah memintal distrik Medeiros. Kawasan ini seksi, dipadati bangunan penting jejak bangsa-bangsa di negara ini. Lihatlah Casa Europa, Universidade Nacional Timor Lorosa’e, Bank Mandiri, hingga Kedutaan Portugal. Jalannya sempit, disesaki Kareta Estado dan tumit pejalan kaki.
Petang datang, terik jatuh perlahan. Di bibir pantai Palacio, seorang budak melarung nasib. Bahunya merah, bertelanjang dada, memangku keranjang telur asin. Lidahnya fasih berbahasa Indonesia. Dari perkenalan singkat, ia mengaku yatim piatu.
“Kalau kakak balik ke Dili, cari saya di sini.” — Alfin.
Dua jam berlalu, seseorang telah menanti di lobi. Rambutnya klimis, wangi, serasi dengan kemeja biru yang lengannya dilipat rapi. Dialah tuan rumah untuk perjamuan malam ini. Kami membunuh hening lewat obrolan pasal Jogja di restoran Padang yang menjual bubur manado. Dialah Zozo.
Esok pagi, ketika menanti jemputan pulang, Rita—pemilik griya, memberikan sebuah bingkisan. Lima kaleng sirup pisang kini telah berpindah tangan. “Ini untukmu!” katanya.
“Ibuku asli Maluku, dia wafat saat usiaku tujuh tahun. Doakan agar suatu hari aku dapat berkunjung ke sana,” harapnya.
Mobil bergerak menuju Kupang, kecepatannya dikawal perpisahan penuh harapan. Saat itu, Dili lebih dari sekadar nama kota. Dari minibus putih yang menerabas badai di Maubara, saya bersumpah akan kembali ke sini. Ke kota yang merdeka dari senyum yang pura-pura. Di sini, di Dili.
Hetan diak liu. Hau hadomi o!
15 Comments. Leave new
Alhamdulillah kalau artikel ini cukup membantu. Jom bercuti kat Dili, we have one direct flight service from Denpasar to Dili. So, you nak ke Bali first, lepas tu baru ke Timor Leste. Wait, I'm on my way kat your blog. Haha.. :))
Aku teringin bangat ke timur laste ini.. syukur kamu telah membei sedikit gambaran pada ku untuk kesana… terima kasih.. sudah lama kita tidak kunjung berkunjung di blog masing2 😀
Kereeen bang
Kayaknya Cum, kayaknyaa… Hahaha
Kayaknya rumah KD ini jadi agenda tujuan wisata kalo ke DILI hahahaha
Bahkan lebih terkenal dari rumah Ramos Horta :))
waaah rumah KD terkenal banget yah disana
Hihihi, dulu kan w pengen ikut ke sini nih.. tapi apa daya, 🙂
Lain kali mesti join yah, Yud :))
Iya cum, tarulah sehari ceban kalau pake kurs US$1 = Rp. 10.000 yes.
Coba deh nyusun agenda buat trip ke sana taun depan. 🙂
Mahal juga yaa voa nya $30, beberapa tahun lalu sempet mau kesana tp batal karena temen ngomporin ketempat lain ;-(
Bagus banget! Alamnya asri, udaranya masih segar sekali :))
Wah gue sempat understated sama timur leste… ternyata timur leste bagus juga…
Dili keren, biar sederhana tapi photogenic!
Sekian dan Debzzie mesti kesana 🙂
Huihhhhh cakepnya udah sampe di Timor Leste.
Bagus2 fotonya dan pemandangannya indah ya….
One day aku juga harus kesana 🙂