
Tol Kanci-Palimanan, Cirebon
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “kelana” ialah melakukan sebuah perjalanan tanpa tujuan tertentu. Namun, kata siapa ini hanya melulu tentang berpindah, bersenang-senang, menemukan kawan, kemudian pulang?
Selain pengalaman, saya kerap mendapati kejadian, yang kalau dipikir-pikir banyak tidak masuk akalnya. Barangkali benar, alam gemar memberi beberapa kebetulan, agar kita percaya bahwa separuh tanda tanya memang tak pernah memiliki kunci jawaban.
Pesawat Naas
Surabaya — Tergiur dengan penawaran akhir tahun, saya membeli tiket untuk penerbangan tengah malam dari Juanda menuju Denpasar. Pukul 23.00 pada 2012 silam, kami dipanggil memasuki pesawat MZ-616. Tepat 20 menit setelah lepas landas, Pilot meraih pelantang, mengabarkan jika kita akan kembali mendarat dan meminta seluruh penumpang tetap tenang.
Tak ada yang dapat dilakukan kecuali berdoa, menerka-nerka, mendengar ketakutan, serta melihat lampu indikator yang berkedip di bingkai ‘pintu kecemasan’.
“Terjadi kerusakan di enjin kanan. Tadi setelah lepas landas, beberapa penumpang melihat percikan.” Kata seorang pramuterbang kepada petugas darat yang tampak kebingungan.
Sembilan Kali
Jakarta — Ini terjadi di tahun 2013, ketika dalam perjalanan dari Jakarta menuju Sumatra Selatan. Siang itu, di jam yang sama, harusnya saya sudah berada di Kuala Lumpur, tetapi saya mengubah rencana. Penerbangan ke negeri jiran telah ditukar oleh trayek bus tujuan Kalideres-Palembang.
Saat bertolak menuju Merak, kami melewati 9 kecelakaan maut dalam kurun sepuluh jam saja. Bahkan, pada insiden keempat, bus yang saya tumpangi juga nyaris menjadi korban. Saya bersumpah untuk mengingat ini sebagai perjalanan yang melintasi marka pintu neraka.
*Cerita tentang Palembang ada di sini.
140 km/h
Ayutthaya — Tahun 2017, saya berada di Thailand dalam sebuah program pemuda antarnegara. Selama di sana, panitia lokal telah menyiapkan satu keluarga angkat bagi setiap peserta. Bersama beberapa kawan, saya mendapat kesempatan untuk tinggal di sebuah keluarga yang mengadopsi banyak kucing di rumahnya.
Kepala keluarga ini bernama Alex. Usianya sekira 50 tahun, tinggi tegap, pandai berhitung, namun irit bicara. Kami bermalam selama tiga hari di rumah ini. Esoknya, usai mengunjungi situs pusaka di Ayutthaya, Alex meminta saya dan Kevin untuk ikut di mobilnya. Kevin ialah peserta asal Vietnam yang merupakan seorang taruna di Kepolisian Hanoi.
Dalam perjalanan kembali ke Bangkok, Alex mempersilakan kami untuk duduk di baris kedua, sebab ia hendak menjemput seorang kawan. Tak lama, Alex bergeser ke sebelah kiri, lalu menyerahkan kemudi pada sosok yang belum sempat memperkenalkan diri.
Setengah jam berlalu, segalanya berubah pelan-pelan. Mereka berselisih ketika membahas urusan kerjaan. Tak terima dibentak Alex, pria berjenggot dengan wangi minyak kesturi sontak menginjak pedal dan memacu mobil kesetanan. Saya dan Kevin bertatapan, menarik sabuk pengaman, lalu menyalakan recorder di ponsel masing-masing.
Mobil melaju kencang, melesat dalam kecepatan 140 km per jam. Sungguh, kami seperti orang-orang yang tak sabar menuju kematian. Saat itu, kalaupun harus mati di negeri orang, Polisi pasti memiliki bukti untuk kelengkapan penyelidikan. Setidaknya dari hasil rekaman suara dua pelancong yang ketakutan.
Bus Hantu
Cirebon — Ketika bekerja di Jakarta (2011), saya selalu pulang ke Cirebon setiap akhir pekan. Sial, siang itu tiket kereta habis terjual. Bergegas saya mencegat satu Kopaja dan mengejar jadwal bus di kawasan Trisakti. Mujur, selembar tiket Lorena tujuan Grogol-Harjamukti kini berada dalam genggaman.
Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Dalam perjalanan itu, saya kebablasan tidur dan baru terjaga ketika bus telah memasuki Kota Brebes. Kadung panik, saya meminta kondektur untuk menepi. Sopir akhirnya melambat dan menurunkan saya bersama seorang lelaki tua pukul dua dini hari.
Siapa menyangka jika di tengah malam buta ada juga yang bernasib sama. Lewat isyarat, pria itu meminta saya membuntutinya. Setelah berjalan 300 meter ke utara, kami berhenti di sebuah pos perlintasan kereta. Tak lama, satu bus berwarna putih menepi dan menaikkan kami dengan segera.
Dalam perjalanan kembali ke Cirebon, tak ada penumpang yang saling bicara. Saya baru sadar jika bus ini tampak tua, tanpa kaca jendela, amis, serta memuat kambing, ayam, hingga batang tebu dan pupuk dari kotoran hewan. Saya juga baru ingat jika selama perjalanan ini kami tak berpapasan dengan satupun kendaraan. Dan oh, kakek tadi, dia bahkan raib dari tempat duduknya, padahal kami belum berhenti untuk menurunkan penumpang sama sekali.
Tak lama bus tiba di tujuan, saya bergegas turun setelah menyerahkan uang ke seorang kernet yang menagih tanpa menampakkan muka. Jam menunjukkan pukul tiga subuh, itu artinya saya harus segera ke rumah sakit mengejar jadwal operasi paman nanti pagi.
Satu becak mendekat, menawarkan jasa antar ke tujuan. Dengan ponsel yang kehabisan daya, saya sigap menurutinya. Ketika tiba di pintu gerbang, saya tercekat. Tukang becak itu, ia mengenakan pakaian serba putih, pucat, dengan tubuh berbau melati. Dialah si kakek tadi!
Kereta Teroris
Jakarta — Masih di tahun 2011, tahun di mana layanan Kereta Api tidak sebagus saat ini. Orang masih naik ke atap gerbong, merokok di dalam kereta, berlimpah pedagang, dan nomor kursi hanyalah omong kosong belaka.
Di Sabtu yang terik, saya bertolak ke Cirebon melalui Stasiun Senen yang terkenal sebagai sarang penyamun. Jangankan tempat duduk, kereta ini bahkan tak memiliki rasa tenang dan masa depan. Padahal perjalanan baru selesai delapan jam lagi.
Tak kuat impit-impitan, saya mengalah dan memilih bersila di depan toilet yang mengoleksi banyak kotoran. Lamat-lamat terdengar pengumuman, kereta ini tak bisa berhenti di stasiun tujuan karena alasan keamanan. Orang-orang saling pandang, semua kebingungan.
Sekejap suara sirene menggema dari kejauhan, disusul rombongan mobil Polisi yang merapat di pinggir jalan. Setengah jam berlalu, kami masih belum mengerti sama sekali. Kereta kembali bergerak dan berhenti di stasiun pengganti. Saya bergegas turun, berlari keluar peron dan mencari kakak yang telah menunggu dengan payah.
“Kami terjebak di stasiun kecil, namun tak ada yang boleh turun. Kulihat banyak mobil polisi, entah apa yang terjadi.” Saya mengeluh kesal di dalam mobil.
“Kau naik satu kereta dengan penjahat. Dia jaringan teroris yang meledakkan bom di masjid Kepolisian Cirebon pekan lalu!” Kakak membalas dengan lugas.
Perahu Sial
Sorong — Juli tengah malam pada tahun 2016, saya menumpangi satu jonson dari Sorong ke Pulau Doom. Tak ada yang aneh dengan seluruh penumpang, hingga mesin mati di tengah lautan.
Tiga lelaki tegap meracau kesetanan. Tak lama, dua remaja melompat ke laut dan membuat panik seisi perahu. Situasi semakin gaduh ketika beberapa pria yang duduk di baris kiri bergeser keluar dan memaki-maki seorang motoris. Siapa mengira jika malam itu saya terjebak di rombongan pemabuk yang tak lagi sanggup membedakan lautan atau kasur yang empuk.
Lima Belas Menit
Tokyo — Di penghujung 2017, dalam sebuah penerbangan dari Haneda ke Kitakyushu, semesta memberi pelajaran. Sebagai orang yang tak terbiasa makan pagi, saya terpaksa menyantap kotak sarapan yang disediakan sebuah agen perjalanan.
Bukan soal kebiasaan, bahkan rasa makanan pun tampak kurang cocok di lidah. Tak pelak, perut bereaksi tepat ketika panggilan naik ke pesawat. Saya mencoba tenang, berupaya mengendalikan diri agar terlihat baik-baik saja.
30 menit setelah lepas landas, kami memasuki situasi yang rumit. Bencana Topan Lan ternyata berdampak hingga ke angkasa raya. Berkali-kali pesawat mengalami turbulensi sehingga indikator sabuk pengaman terus menyala sepanjang jalan. Itu artinya setiap penumpang dilarang berdiri dan akses ke kamar kecil langsung ditutup sama sekali.
Perut bergejolak, saya berkeringat. Dunia seperti berputar dalam gelap. Tak sanggup berpura-pura, saya berdiri dan nekat pergi ke koridor belakang. Awak kabin yang panik mendadak iba melihat air mata kesakitan. Demi Tuhan, tak ada yang lebih buruk selain terbang dengan setelan formal, diare, turbulensi, dan hanya punya 15 menit untuk menuntaskan segalanya.
Rumah Kutukan
Surabaya — Tahun 2013, dalam kunjungan kelima di Kota Pahlawan, saya mewanti-wanti seorang kawan untuk menemani ke spot uji nyali. Sebuah tempat yang konon pernah menjadi lokasi syuting program “pemburu dedemit”.
Kami berangkat pukul 23.00, yang secara kebetulan merupakan malam Jumat Kliwon pada hitungan penanggalan Jawa. Beberapa pengunjung berburu foto di depan pagar, namun tak ada satu pun yang berani masuk ke dalam. Tanpa pikir panjang, saya melepas ransel dan langsung pergi berburu setan.
Bangunan terbengkalai berlantai dua ini tampak mewah dengan pilar yang tinggi-tinggi. Pantas saja banyak spekulasi musabab awal tragedi. Gelap pekat, rumah ini kian horor dengan bulan utuh di atas dinding-dinding tanpa atap.
Berbekal senter dari ponsel, saya menyisir setiap sudut, mencari apapun yang masih hidup. Bukan penjahat, bukan pula lelembut. Ruang-ruang kosong yang berbau ternyata dipenuhi oleh sampah kemasan makanan, rokok, pakaian dalam, ikat rambut, hingga kondom bekas pakai. Ini propaganda, sebuah upaya menakuti manusia agar aman melakukan sanggama.
Masih takjub dengan sebuah penemuan hebat, perlahan suara sirene mendekat. Tak lama, dua polisi merangsek masuk dan menjemput saya dari kegelapan. Alkisah, setelah episode reality show itu ditayangkan, tempat ini telah menjadi area terlarang. Itu sebabnya tak ada yang berani melawan untuk bertamu ke rumah setan.
Ah, jika saja orang-orang itu tahu apa yang ada di dalam, pasti mereka berubah pikiran.
Kamar Kejutan
Kupang — Tahun 2014 saya berkunjung ke Tanah Sasando untuk pertama kali. Saya mengabari seorang kawan, lalu memintanya memilih akomodasi selama dua malam. Tak lama, ia mengirimkan kontak seorang perempuan yang merelakan usaha indekosnya disewa harian.
Sebuah rumah berlantai dua berwarna merah kusam telah berada di depan mata. Induk semang menyambut saya di halaman. Usai transaksi, saya diantar menuju kamar di lantai atas. Ruangan itu cukup luas, lengkap dengan tempat tidur ukuran besar, almari, wastafel, pancuran, dan satu kabinet dengan alkitab dan salib di atas meja.
Tak ada yang aneh hingga tengah malam tiba. Sayup terdengar suara kaki di depan kamar, disusul tangis bayi yang meminta ditenangkan. Di kamar mandi, air menetes pelan dari saluran leding yang sudah dikunci. Tak suka diganggu, saya membuka pintu, lalu turun dan mengadu ke pemilik rumah.
“Di belakang kita adalah rumah sakit, kamarmu persis di seberang ruang jenazah. Barangkali mereka ingin berkenalan. Mari pindah di bawah saja,” begitu katanya.
Ada-ada saja!
1 Comment. Leave new
Saya antara takut atau bersyukur. Takut karena itu tengah malam, bersyukur karena dapat teman.