Pagi pukul tujuh, aroma kayu bakar melekat di dinding-dinding kamar. Hanan mengetuk pintu, membangunkan saya yang baru terkapar dua jam lalu. “Bangun cepat, jonson datang 30 menit lagi,” katanya. Semesta di Papua bergulir lebih awal, Tuhan dan matahari tiba dua jam lebih cepat di sini.
Dari dapur yang tak bisa dibilang sempit, duduk Maar Yakeba mengawasi semangkuk kamomor dan dua cangkir teh goalpara yang masih panas. Saya bergegas mandi dan sarapan bersama sebelum pergi. Vanus tiba belasan menit kemudian, merapat bersama long boat bertenaga 15 PK dengan kapasitas angkut empat kepala. “Tempo! Kita harus cabut sebelum ombak hantam torang,” perintahnya.
* * *
Frans menarik tali pinggang ketika indikator sabuk pengaman berkedip. Empat awak kabin kembali bersandar di jumpseat. Dari kokpit yang disesaki perangkat navigasi, Capt. Lusset mengirim perintah persiapan mendarat.
Seribu kaki di bawah sana gelombang menampar pesisir Sorong, sebuah bandar yang pernah dikendalikan Kontroleur Hoofd van Paatselijk Bestuur di era Onderafdeling.
Fokker F28 yang mengangkut 39 penumpang terbang merendah, bersiap untuk mendarat. Hirias, seorang petugas menara kontrol baru saja mengirim pesan, meminta Lusset bersedia mengalihkan penerbangan itu ke Biak. Cuaca kian buruk untuk sebuah pendaratan, dengan alasan apa pun.
Di kiri Frans, duduk seorang perempuan Timika yang mengepalkan tangannya. Di seberang, dua nona Ambon tengah berdoa menutup mata. Baki jendela dibiarkan terbuka. Orang-orang terdiam, patuh mengikuti prosedur penerbangan sipil sebelum mendarat.
Tak ada pemandangan lain kecuali langit yang benar-benar gelap serta suara dua mesin Rolls-Royce yang dipacu maksimal untuk mengangkat beban ribuan ton.
Frans mengusap wajah, kepalanya sesak dengan banyak kemungkinan. Dadanya berdetak, ingin segera tiba untuk menghadiri pesta keluarga, perayaan sederhana yang dipenuhi dekorasi bunga kamboja. Lima menit kemudian ia terjaga dalam tidur yang panjang. Perjalanan ini telah selesai.
Kamis malam, lewat laporan terbaru di saluran televisi andalan, seseorang membacakan berita:
“Penerbangan 724 dari Ambon menuju Sorong telah menutup kisahnya bersama 41 orang yang dilaporkan meninggal dunia. Pesawat menghantam Bukit Batu dan terhempas ketika berupaya mengganti kordinat untuk tindakan divert ke Biak. Lambung PK-GFU patah menjadi 3 bagian. Menurut laporan, empat orang selamat dalam insiden ini.” – Kamis, 1 Juli 1993.
Pelukan-pelukan yang harusnya mekar di pintu kedatangan kini menjadi luapan emosi kehilangan. Orang-orang sibuk mengingat kebaikan korban, berharap Tuhan berkenanan menukar garis tangan. Di sebuah tanjung berbatu di bibir lautan, regu penyelamat tulus bekerja atas nama kemanusiaan.
* * *
Jonson ditambatkan ke sebuah jangkar setelah tiba di pulau ini. Saya menarik napas panjang untuk merayakan mimpi telah berkunjung ke pulau yang mati. Tak ada lagi pesawat yang datang dan pergi, hilang sudah segala jejak, kecuali landasan sepanjang 1.850 meter yang digunakan anak-anak berlatih sepeda, bermain bola, mengejar kupu-kupu, atau berjalan kaki ke sekolah.
Asap ikan bakar mengepul dari rumah Ferdinand, nelayan paruh baya yang mengangkat Vanus sebagai anaknya. Kami dijamu dengan hidangan sepanjang meja dan taplak putih yang bersih dari noda. Hanan meraih pinang, menawarkannya kepada empat pemuda yang berbalas mop di selasar utara. Saya berjalan ke timur, mencari jejak peradaban Jefman yang telah jatuh tersungkur.
Puluhan tahun lalu, orang-orang yang datang ke Sorong harus mendarat di sebuah pulau yang berada 15 mil di sebelah barat. Tak ada landasan pacu di kota itu, kecuali pelabuhan peti kemas yang menjadi satu-satunya gerbang ekonomi Irian Jaya.
Sesiapa yang tiba di Jefman, masih perlu menempuh 40 menit pelayaran lanjutan. Barang yang dibawa tak boleh banyak, kelebihan bagasi akan ditinggalkan di Ambon atau Ujung Pandang untuk diterbangkan di hari berikutnya.
Lain dulu lain sekarang. Ketika lalu lintas udara dialihkan ke Bandara Domine Eduard Osok, Jefman perlahan ditinggalkan. Gedung terminal dan menara kontrol hanya menyisakkan fondasi yang rata dengan tanah. Di pundak dermaga tua, belasan depot reyot menunggu sangkakala sebagai tanda kiamat telah tiba.
Anak-anak berenang telanjang, menikmati paparan tabir surya yang menjadikan mereka menarik dengan caranya. Saya menyingkirkan sarang laba-laba saat melewati tiga bungker tua di Tanjung Batu. Seratus meter di belakang, berdiri bukit setinggi 35 kaki yang menghadap lautan bebas. Vanus mengulurkan tangan dan menggoda saya untuk naik ke atas.
“Ini Bukit Batu, puncak tertinggi di sini. Batu yang kau duduki adalah titik terakhir penerbangan itu.” Vanus mengarahkan telunjuk, tepat ketika saya sedang bersila di atasnya.
Satu minggu lalu, ketika memutuskan datang ke Sorong, saya menyusun daftar kunjungan bersama Resqualdoz. Ada dua belas tempat di catatan itu, tetapi tangan mencoret Piaynemo dan mengganti Jefman di urutan pertama.
Sebab saya percaya, dulu, di pulau ini, pernah ada sepasang telinga yang pura-pura kuat mendengar selamat tinggal, dan ada banyak bahu yang acapkali merindukan pelukan-pelukan selamat datang.
Di sini, di Jefman.
4 Comments. Leave new
Makasih bang buat ceritanya
Saya teringat kembali pulau kelahiran saya dan di besarkan di jefman walau sudah tidak lagi di sana akan tetap aku ingat selalu
Sama-sama, Kak. Jefman memang berbeda, dan akan selalu saya kenang sebagai tempat yang luar biasa. Anyway, terima kasih sudah datang ke sini.
Ini salah satu target yang belum tercapai sampai sekarang, Tha.
Love it! Kusuka penuturan ceritannya.
Make it to a book please. A collection of short stories from your journey ��