Mengurai Jogja sama halnya bercerita tentang Bali. Keduanya menyandang nama besar, megah budaya, ramah, sederhana, bersahaja, tetapi kreatif dan berpikiran terbuka. Segalanya indah tanpa celah dan tak kekurangan apa-apa. Mengupas keduanya berarti mengulang pujian-pujian yang sama.
Malioboro 2012 adalah sebidang jalan sempit yang sibuk mementaskan perilaku kaum madya hingga kalangan ningrat. Di timur, berdiri tegak De White Paal sebagai sumbu imajiner antara Laut Selatan, Keraton, dan Gunung Merapi yang menjulang sejajar.
Lalu bagaimana dengan riwayat Beringharjo, Vredeburg, Niil Maatschappij, hingga stasiun besar di bilangan Sosromenduran? Lupakan saja, membahas mereka berarti setuju untuk bercerita lebih jauh hingga ke Borobudur dan Prambanan di Magelang sana.
Jogja 2010 adalah kota penyelamat, yang menawarkan pintu ajaib manakala rutinitas kerja dan kuliah merampas hak sebagai manusia bebas dan merdeka. Di dalam sepur tua, saya melempar lamunan pada hamparan sawah dari balik jendela, serta berharap kondektur mempercepat kereta.
Perjalanan dari Jakarta menemukan selesai di Stasiun Poncol. Semarang kala itu tak bisa ditulis terlalu panjang, sebab Jogja sudah menunggu dengan gempita. Tak menyerah, Ester memaksa saya untuk turun dan melakukan jelajah singkat di “Kota Lumpia.”
Tiga jam meninggalkan Lawang Sewu, minibus hijau tua bergerak melintasi jalan layang dengan pemandangan yang menyedihkan. Rumah tanpa atap, tumbuhan tanpa warna, ternak tanpa gembala, jalan, sungai, dan segalanya adalah abu-abu. Lahar dan air mata meluap bersama, sepatu dan tulang hewan terkungkung di dalam selokan.
Merapi menyambut kami dengan angkuh, udaranya menerbangkan doa dan harapan-harapan. Selamat datang, kota ini sedang kesakitan!
Jogja bukan yang dulu. Tak ada lagi Hilda yang mengundang ke pementasan barongsai, atau Arif yang sibuk kuliah hingga tak punya waktu untuk berjumpa. Bukan pula tentang Handy yang menekan klakson ketika saya membelakangi mobilnya, kemudian membayar seluruh makanan sebagai hadiah ulang tahun di malam yang sama.
Kini Merapi telah jinak, ditopangnya awan dan langit biru saat pesawat merendah sejajar. Jogja kali ini tentang Adisucipto yang sesak, jajanan Legend Café yang enak, hotel-hotel baru yang mengancam ruang terbuka, hingga pusat perbelanjaan modern yang dibangun untuk mematikan ruh Alun-alun dan Taman Siswa. Sakralnya budaya dan tata krama telah dikuliti atas nama pariwisata.
“Kakak sudah di Jogja, sayang. Kalau tak ada halangan, hari ini kita pindahan. Titip saja kunci kamarnya. Selamat sekolah, selamat belajar!”
Saya melayangkan sebuah pesan ke adinda keempat, lalu menarik buku agenda dan merobeknya untuk menyusun daftar rencana selama di sana. Adik telah berangkat sejak pagi buta, pergi berkemah agar nilai ekstrakulikulernya tak berubah warna.
Belanja almari, sewa pick-up, cari wi-fi, kirim dokumen, ambil rapor, berkunjung ke UGM, Tamansari, bertemu beberapa pejalan, iftar bersama Leonard, hitam, gelap, lalu tumbang menindih catatan yang masih di awang-awang. Takluk sebelum perang, layu sebelum berkembang.
Iin menjelma sebagai peri dan menemani pergi ke sana kemari. Darinya pula, Jogja terlihat sangat kecil dan sempit. Dee Je tak kalah sakti, ia mengundang saya ke lesehan di kolong jembatan layang, kemudian menyerahkan kunci motor sebagai fasilitas jalan-jalan.
Ah, kota ini semakin menyebalkan saja, ia memutihkan sumpah yang pernah saya ucapkan dulu. Ketika dengan yakin saya berjanji tak mungkin jatuh hati pada nama besarnya, atau terjebak dalam keramah-tamahannya. Tak mungkin, tak akan mungkin.
Sekarang skenario telah berubah, bukan saja perkara mengurus adik tercinta. Kini saya menemukan keluarga baru lewat banyak jabat tangan dan pelukan. Dan oh, Handy datang untuk yang kedua kali, lalu menculik saya dari kawasan Seturan ketika sedang merampungkan kerjaan.
Esoknya, saya menghadiri undangan untuk momen yang paling menentukan. Sebuah buku diserahkan, saya membukanya pelan-pelan. Adinda naik kelas dengan nilai yang memuaskan. Sebagai hadiah, kami berkemas untuk pindah ke induk semang yang baru.
Adik mewarisi sifat Ibu yang pemberani. Sejak SD ia sudah meninggalkan rumah untuk sebuah cita-cita, lalu meyakinkan kami bahwa perempuan kecil bisa merantau ke mana saja.
Tugas dan pertemuan telah usai, kini saya bisa melepas cinta dan pulang dengan hati yang tenang. Atau barangkali, separuh cinta itu masih harus dibagi dua dengan dia yang memilih menetap di sini. Dia yang menjadi alasan bahwa ada masa lalu yang belum selesai sampai hari ini.
Entahlah, Jogja merebut separuh paru-paru dari saya. Maaf sudah menjadi seperti mereka, orang-orang yang selalu mengulang pujian-pujian yang sama. Kota ini memang istimewa.
•
Musik untuk perjalanan ini:
Happy All The Time — See New Project
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Ester Berliana, Risnawaty Tjan, Handy Bareszky, Dee Je, Hilda Komalasari, Arif Wicaksono, Leonard Pasaribu.