Selamat datang di pelayaran bermartabat! Selama 52 hari saya akan hidup terapung di lambung Nippon Maru, nama yang cantik untuk bahtera megah buatan Tokyo. Ini adalah perjalanan luar biasa, berangkat sebagai duta Indonesia untuk program Pertukaran Pemuda ASEAN-Jepang 2017.
Kapal ini berukuran besar, mengangkut 300 penumpang dari sebelas negara. Kami berlayar meninggalkan Harumi Port of Tokyo menuju pelabuhan Sihanoukville di Kamboja, bergeser ke Bangkok, turun ke Jakarta, naik ke Port Klang di Malaysia, lalu kembali ke Laut Cina Selatan untuk pulang ke Jepang.
Pukul empat sore semboyan berlayar dibunyikan. Saya bergegas menuju kamar, sebuah ruangan berukuran 3×3 meter yang terletak di Dek I dekat haluan. Kartu diisi ke gagang kunci, menunggu izin masuk diterima. Kamarnya mewah, disesaki beberapa fasilitas canggih, bersih, wangi, dengan pintu bernomor 106.
Bilik ini berkapasitas tiga orang, saya dan dua kawan lain dari Thailand dan Filipina dipilih sebagai penunggu kamar ini. Adalah Jaita, seorang Notaris asal Chiang Mai yang hidup berkecukupan di Bangkok, serta Kimboy, konsultan perjalanan asli Manila yang amat mencintai Jakarta dan Indonesia.
Perkenalan kami berjalan lancar, walaupun sesekali memerlukan jeda untuk memahami dialek Inggris-Muang Thai yang unik. Di luar itu, Kimboy melumat seluruh topik dengan fasih. “Sometimes I need more than two minutes to understand what he said,” telunjuknya jatuh ke dada Jaita, Kimboy bergurau.
Kami berunding untuk membuat peraturan internal. Demi keadilan, setiap minggu wajib tukar posisi agar semua beroleh kesempatan tidur di ranjang kasta utama. Jaita menuang anggur, merayakan kesepakatan yang menurutnya “terlalu berkelas”.
Tiga hari berlalu setelah kami menemukan nama belakang yang disetujui bersama: Jaita si lincah, Aiya si morning person, serta Kimboy si mahateliti. Dua minggu kemudian segalanya berubah. Jaita menjadi penyelundup makanan, saya memenangi predikat raja mabuk laut, Kimboy meraih piala sebagai bucin puitis yang memerlukan banyak peluk. Bilik berubah dari sekadar ruang tidur menjadi kastil pendosa yang minim pahala.
Sebagai penyelenggara, Jepang cukup ketat menerapkan segala aturan. Protokol kesehatan adalah prioritas utama. Negara itu masih trauma dengan pandemi SARS yang menyerang Asia pada tahun 2003. Makanan restoran harus tandas di tempat untuk menghindari kontaminasi bakteri di luar ruangan. Namun, bukan Jaita namanya kalau tidak pulang dengan asupan selundupan.
Dingdong! Bel berbunyi, inspeksi dilakukan. Jaita sedang melumat yoghurt, lengkap dengan perkakas curian. Kimboy meringkuk di pojokan, meratapi cinta yang tak berbalas. “Be a nice host, Aiya!” Jaita melempar petuah ketika saya meraih gagang pintu.
“Selamat malam!”
“Selamat malam, Pengawas!”
“Seperti yang kalian ketahui, hari ini kita menerima tiga laporan dari beberapa peserta yang terduga influenza. Kami ingin melakukan pemeriksaan suhu tubuh dan melakukan inspeksi mendadak. Apakah diizinkan?”
“Silakan, dengan senang hati,” kami menjawab.
“Tuan Jaita, dari mana Anda mendapatkan sendok dan yoghurt itu?”
Boom! Semua mematung, lidah mendadak kelu.
“…Ngg anu, saya beli di Thailand waktu berlabuh di Bangkok kemarin. Percayalah!” Jaita memerah.
“Kami bahkan tak menyangka jika sendok buatan Thailand sama persis dengan perkakas milik restoran. Tuan Jaita, jika telah selesai, harap buang sampah Anda ke wadah limbah restoran, dan titipkan sendokmu ke penanggungjawab ruang makan.” Tim inspeksi menutup pintu dan melongos pergi.
Saya melepas cemas dengan memuji Tuhan berkali-kali. Jika saja mereka jeli, kita akan menjadi bulan-bulanan. Bagaimana tidak, kulkas kami dipenuhi makanan selundupan sejak satu minggu lalu: sebutlah buah, es krim, kue, cokelat, hingga beberapa kaleng yoghurt.
“Kupikir Buddha turut bersamaku!” Jaita menghibur diri.
“Putang ina!” Pukul satu dini hari, ketika lampu-lampu telah padam, Kimboy mengumpat, berkeringat. Kami terkejut, lantas merundingkan tindakan yang patut diambil.
“Only you can handle it. Just be a good painkiller, I trust you!” Jaita berbisik. Saya mendekat, memeluk, menenangkan Kimboy sebisa mungkin. Setengah jam kami berpacu menolong jiwa yang terluka. Ia berada dalam pengaruh alkohol, sehingga apa pun yang diucapkan, itulah cahaya kebenaran.
Telepon berdering, menyergap kabin yang dilumuri kesedihan. Saya menjawab, lantas tercekat. Di seberang, seseorang mengurai butir-butir pengakuan. Lima menit kemudian sambungan terputus, meninggalkan Jaita dengan tatapan menyerang. “Apakah ada yang kau sembunyikan dariku?” Wajahnya serius. “Biarkan dia tertidur, kita harus bicara.” Saya menariknya ke jendela, meraih cokelat, dan menyerahkan segelas air putih.
“Who’s call you, Aiya?”
“You really want to know?”
“Yes, I do.”
“Don’t be shock, promise me?”
“Sure..”
“His boyfriend!”
“What??”
“Yes!”