Ini bukan tiga yang biasa. Namun, tiga yang berpendar di awal Mei sebagai angka istimewa di dalam kepala. Perjalanan ini adalah rahasia. Rahasia yang dirancang tiba-tiba untuk seseorang yang keras kepala. Kutukan Lombok benar adanya. Siapapun yang pernah ke sana, pasti kembali dengan alasan yang mengada-ada.
ATR ramping berpindah dari Kuta ke Praya, membawa puluhan tamu wisata dan seorang pemuda cemas yang kehilangan suara. Dadanya menyempit, menahan candu kepada pelipur hati yang dianggapnya berhala. Siang itu, katup karet mengunci telinganya, menutup ruang dengar lewat tembang lawas Frank Sinatra.
Selama hidup, ini pertama kalinya ia melancong karena cinta. Selain kepalang rindu, jarak jualah yang menjadi alasan pembunuh kesepian. Satu yang dia syukuri, bahwa Bali ke Lombok bukanlah perkara sulit.
Tetapi kejutan tinggal kejutan, rahasia itu melangkah jauh ke telinga seseorang. Seseorang yang mengaku sebagai kawan kekasih, dan menyambung lidah ke kuping paling disembunyikan. Kini tak ada lagi rahasia, semua rencana telah bergulir telanjang.
“Sayang, tunggu ya, aku sudah menuju bandara.” — Patjar, via telepon.
Pemuda cemas kini tertawa, matanya meluapkan bahagia yang membabi buta. Hari paling mustahil telah menjadi nyata. Telapaknya basah, gugup menunggu sukacita yang segera tiba. Samar-samar sebuah papan menyambutnya di sisi kanan, menampilkan ungkapan salam sambutan. “Selamat Datang di Lombok!”
Siang itu menjelma Sabtu yang mahasempurna. Himpunan awan menangkis bara baskara, laut-laut bergemuruh, menampar pesisir berlapis tepung berwarna pinggala. Alam bersorak mengawal sepasang manusia yang terjajah asmara.
Tak ada lagi gundah gulana, pemuda itu telah layu pada tatapan yang paling dicintainya. Pertemuan mereka memahat banyak janji di ruas Mandalika, melekat di bahu jalan Ampenan, dan hanyut bersama buih-buih bergerigi di Sekotong. Sumpah untuk saling mengasihi telah pulang bersama surya yang tergelincir di Gili Trawangan.
Barangkali benar, bahwa pengelana tak selalu melangkah tanpa tujuan. Sesekali mereka membelot, mengingkari diri untuk mengikuti laluan hati. Mataram adalah saksi, ketika pemuda yang gemar berkelana mendadak lumpuh atas nama cinta.
Dari kuliner lesehan di kawasan Cakranegara, dua sejoli bertukar umpama. Umpama jarak bukan rintangan, umpama waktu bukan hambatan, umpama mereka bersama selamanya. Hati sang pemuda kian membara, melayang tinggi sejajar pucuk minaret di Masjid Raya.
Lombok dan lalu lintasnya yang berani adalah pemantik bagi pengelana palsu yang takut mengungkap isi hati. Dari kabin redup dan jendela mobil yang gelap, matanya memanah lawan, mengiris emosi lewat ungkapan paling kaku. “Selamat ulang tahun, sayang!”, ucapnya malu-malu, sungguh-sungguh.
Hari ditutup lewat pelukan pemintal senyap. Tak ada lagi kata-kata yang dirangkai dengan percuma. Kejutan itu telah berakhir menjadi pertemuan yang disesaki rasa senang. Namun, waktu memang tak bisa ditawar. Pesawat terakhir telah menunggu di landasan, menanti satu penumpang lupa diri yang masih kasmaran.
Janji-jemari saling mengikat di pintu keberangkatan. Suara dan mata belum sanggup kehilangan, tetapi detik tetaplah detik. Arloji patuh memandu jarum tanpa mundur ke belakang. Pertemuan itu telah selesai.
Dua bulan setelah perpisahan, mereka terlibat dalam perang yang tak dapat dipulihkan. Segala gencatan gagal meredam perselisihan. Habis sudah fatwa pujangga, tak ada lagi penyangga jiwa. Perang berakhir oleh kekalahan bersama.
“Kita putus malam ini!”
Aduhai sayang, Lombok pedas sekali.
3 Comments. Leave new
Terimakasih Adi, ini juga masih dalam tahap pengembangan. Salam kenal kembali 🙂
Blognya bagus mas desainnya. Salam kenal 🙂
Lombok selalu masuk wish list saya yg utama sungguh disayangkan walaupun posisi saya sekarang bi BWI tapi gak bisa menyebrang ke lombom dan bali untuk melihat toskanya pantai di lombok