Roda menggilas tanah gersang, debu membubung di sepanjang jalan. Kota ini sedang dirancang, belum ada kehidupan, kecuali beberapa struktur dan baja-baja tinggi yang memaku tiang pancang. Gapura antarkawasan berupa pos penjagaan, fungsinya sebagai pengadang tamu dari bandar seberang.
Setelah tandus, batu-batu berganti lumpur, diapit tanah kalis yang enggan diperbudak matahari. Di kejauhan, beton-beton berubah wujud, menjelma ekaliptus penyangga langit. Mobil kian laju, menerobos pos jaga dan tuan-tuan pekerja.
Dari dataran, konvoi naik ke ketinggian, melewati menara-menara, menuju bivak pejabat tinggi. Bukit ini sungguh menawan, menawarkan banyak diam sejauh mata memandang. Di seberang, masa depan sedang ditata. Sebuah bandar rimba yang menjauh dari peradaban. Konon, tempat ini hendak dikenang sebagai pahlawan kesenjangan.
Sore itu, hidup seperti melompat lebih jauh, melampaui hiruk-pikuk, menjangkau segala yang rupa-rupa. Lupakan tabir surya, sebab di khatulistiwa, kulit cerah hanyalah mitos belaka.
Gawai melompat dari saku, setia tunduk pada empu. Sekejap, lensa membidik pepohonan kaku. Barangkali benar, akar memang jahat, sehingga untuk berdansa saja pohon-pohon itu tidak berani. Tinggi, kaku bagai batu.
Namun, lihatlah daun-daun itu, kecil-berjarak dan tampak malu-malu. Bahkan, untuk berjabat saja, mereka mati kutu. Kendati demikian, daun-daun itu menyisakan ruang untuk menyapa langit. Langit yang seharusnya biru, tetapi tampak layu.
Tempat ini mengesankan, seperti garuda dan sayap bilah-bilah tembaga. Jangankan tanah, air dan udara juga turut berpesta. Berdansa kanan ke kiri, menyulap rimba jadi kota. Sekejap mata, cepat sekali.
Dua jam setelahnya, satu panggilan merobek telinga, merampas riang dan sukacita. Seseorang terbata-bata, seperti kehilangan nada dan bahasa. Biasanya suara itu jadi peneduh, tetapi tidak pada saat itu.
“Kakakmu sudah pulang ke surga!” — Ibu.
Tangan mati rasa, dunia gelap gulita. Kabar itu membunuh gempita. Namun, waktu tetaplah waktu yang tidak mengenal arti tunggu. Kaki bangkit berdiri, mencari jalan untuk kembali. Malam itu, jarak hanyalah perkara hidung ke dagu.
Pintu ke pintu, kota ke kota, langit ke langit. Penerbangan itu membawa satu penumpang kalut yang kehilangan segala nafsu. Duka menjemputnya pulang, kembali ke seluruh ingatan, tentang satu perempuan yang pernah mengajarinya rupa-rupa dan segala perkara.
Benar saja! Penerbangan itu menjemputnya pulang, kembali ke bahu ranjang. Putih, patah, basah, perih, tidak bisa disembuhkan.
Ibu Kota Nusantara, 3 Juni 2024.
•
Musik untuk perjalanan ini:
Larantara — Travendom Original Soundtrack
•
Terima kasih:
(Almh.) Asmawati Hi. Kader, H. Rizal Marsaoly, Zandry Aldrin Tuhepaly, Laila Rahmadini, Nadya Amari, Heri Susanto, Didith Prahara, Rifka Silvianty Angel, Henry, Aldzulfikar.