Bagi samudra, kapal hanyalah besi tua yang pandai mengapung, tidak peduli seberapa besar ukurannya. Di air, ikan-ikan berkirim surat, mengutuk kedatangan benda mati yang gemar bergerak, berpindah, lalu menghilang. Jangan tanya dermaga, jika saja bahtera punya telinga, mereka pasti bunuh diri. Dermaga-dermaga itu menyumpahi takdir, seolah-olah singgah adalah satu-satunya kata kerja di dunia.
Penumpang pun sama saja, mereka percaya jika kapal hanyalah rumah alakadarnya. Jangankan atap, tempat ini bahkan tidak punya alamat. Barangkali, satu-satunya hal yang menikmati segala serapah hanyalah serangga. Sungguh, tidak ada yang peduli jika besi tua ini adalah kuala bagi beberapa kepala. Di kitab-kitab bahasa, mereka dihormati sebagai panjarwala, sang penggembala samudra.
* * *
18 Januari 2024 petang, Sangiang kecil berlabuh di Banda. Lambungnya terbuka, menjulurkan pipih baja sebagai moda pijakan manusia. Malam itu, laut dan langit sama gelapnya, meratapi temaram dari tiang-tiang yang kikir cahaya.
Dari darat, syahbandar melarung restu, nakhoda lekas mengatur koordinat dan mengawasi seluruh tepi sebelum juru kendali cikar kemudi. Orang-orang menambatkan lamunan di geladak, membalas tiga semboyan sebagai pertanda kapal hendak pergi. Beberapa mata merayakan perpisahan di balik sekiram.
Jangkar menarik diri, tiang agung mengubah posisi, mematuhi haluan dan aba-aba kelasi. Sangiang kecil bergerak merayap, memunggungi pelabuhan Tanah Berkat. Sungguh, kapal ini tidaklah besar, ukurannya kecil. Bahkan, apa pun yang ada di atas kapal ini tampak kerdil, seperti harapan setiap penumpang yang mendamba kecepatan.
Orang-orang itu tidak peduli dengan Sundoro yang kekal di kabin anjungan, atau dengan Ali Badin yang setiap berlabuh selalu mengucapkan terima kasih. Apa lagi dengan Ardi, remaja lajang yang menggadaikan paru-parunya di kamar mesin setiap hari. Orang-orang itu, para penumpang itu hanya ingin segera tiba, turun, dan berjalan menjauh.
Laut ke laut, pulau ke pulau, dermaga ganti dermaga, Sangiang lusuh terus berjalan, kendati lajunya pincang. Ranjangnya ditiduri silih berganti, diciptakan tanpa harga diri. Jangankan manusia, pangsi tali pun tidak dianggap sama sekali. Padahal, tanpanya, dapra bisa menjadi terdakwa.
Barangkali, ikan-ikan dan samudra ada benarnya. Selain gemar bergerak, berpindah, lalu menghilang; kapal ini hanyalah besi tua yang pandai mengapung. Tidak peduli dengan Ali, Sundoro, dan Ardi. Bagi mereka—para penumpang itu, tidak ada belas kasih yang perlu dibagi. Sebab, semua kapal memang tidak memiliki alamat. Mereka berlayar, berlabuh, dan hanya mati ketika berkarat atau datang kiamat.
Ternate, 31 Maret 2024.
•
Musik untuk perjalanan ini:
Malaika — Miriam Makeba, Harry Belafonte
•
Terima kasih:
PT PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia), Kapten Ali Badin, Sundoro, Ardi, dan seluruh awak KM. Sangiang (18 Januari 2024) Banda-Ternate.