
Aiya Lee | ©2019 Travendom
Mula-mula, ketika membuat blog ini, tidak ada satu pun mimpi untuk jadi penulis atau apa pun yang serupa. Semua itu semata-mata untuk diri sendiri, sebagai jejak perjalanan dan pemantik memori ketika usai dari dunia antah berantah. Travendom lahir sejak bulan Juni tahun 2009, di balik kubikal Airlines Ticketing Officer pada sebuah agen perjalanan milik Nancy & Friends, anak usaha dari grup taipan Tionghoa di simpang Alaydrus, Jakarta Pusat.
Kala itu narasi masih mengadopsi gaya komedi, panjang, dan tanpa struktur. Beberapa tulisan pertama membahas Cirebon, Jakarta, Makassar, sebelum tiba di draf Singapura, Papua, dan Sumatra. Tidak ada tokoh panutan dalam menulis, sebab inti gagasan murni lahir dari pengalaman, perjalanan, kosakata, serta alur dan diksi yang bertumbukan. Saling tindih, kacau sekali.
Jangan tanya istilah laman dan domain, semuanya dipelajari secara autodidak, tanpa petunjuk apa pun. Travendom bergulir begitu saja, tidak ada tujuan, apalagi mimpi. Simpan saja tajuk statistik. Trafik data pembaca bulanan hanyalah diri penulis sendiri, tidak lebih. Sungguh, pola tutur, sudut pandang, atau teknik penulisan sangat monoton hingga penghujung tahun 2013.
Ketika menginjak 2 tahun menetap di Bali, Travendom mulai bertransformasi. Dari sajak jenaka, blog ini berpindah jalur ke lajur sastra. Ini bukan sekadar ganti selera, tapi mengubah warna sesuai kekuatan kepala. Semua terjadi begitu cepat, tepat ketika seorang perempuan mengobral sanjungan di kedai donat multinasional di pojok Teuku Umar, Denpasar.
“Aku penggemar berat tulisan-tulisan di blogmu” – Lieke Ramopolii.
Lima jengkal di depan cangkir cokelat panas, dahi tiba-tiba mengkerut, “Bagaimana bisa jurnal perjalanan pribadi dibaca orang asing yang mendadak jadi pecandu?” Belum selesai perkara Lieke, di tahun yang sama, datanglah seorang Travel Blogger kondang dari Jakarta yang melancong ke Denpasar. Di pesisir Seminyak, cambukan verbal terpental dari lidah.
“Pengunjung blogku ramai, tapi hatiku kosong. Tetaplah jadi dirimu dan menulislah seperti itu.” – Adi Maryanto/Cumi Mz. Toro (alm.)
Barangkali, keputusan ini memang benar. Perlahan Travendom dipugar, termasuk 23 tulisan yang direka ulang dengan perspektif yang kian reflektif. Selain isi cerita, tampilan visual antarmuka turut jadi sasaran; ringkas, bersih, dan berbeda dari blog perjalanan pada umumnya. Langkah ini mendapat apresiasi dari jajak pendapat terbuka yang digelar Sloka Institute dan beberapa penggawa Bali Blogger di Sanur, 2014.
Sejak saat itu, entah bagaimana caranya, Travendom mengoleksi dua pembaca setia dari Kota Kinabalu di Malaysia dan Bandar Seri Begawan di Brunei Darussalam. Pada awal Januari 2019, dalam sebuah kunjungan singkat ke Bandung, seorang gadis melayangkan pesan di Instagram, lantas mengatur titik temu di pelataran sebuah hotel di kawasan Martadinata. Usianya sekira 19 tahun, berhijab, lembut tutur katanya.
“Akulah penggemar beratmu. Jika tidak keberatan, bolehkah kuminta satu puisi tentang kota darimu?” – Elisa Edison.
Tahun yang sama, ketika pandemi mengamputasi langkah manusia, seseorang mengirim komentar dari bilik inkubasi sebuah rumah sakit di Dili, Timor-Leste. Pesan itu jadi kekuatan baru untuk terus menulis. Perempuan itu, perempuan yang geraknya dibelenggu regulasi dunia itu, baru saja menemukan penghiburan di atas ranjang pesakitan, di ujung jari telunjuk.
“Tulisan perjalananmu menjadi obat favoritku selama pemulihan.” – Victoria Geniks.
Mulai hari itu, Travendom disumpah untuk tetap berdetak bagi para pembaca. Jejak-jejak perjalanan yang seyogyanya kekal di dalam kepala, harus rela berbagi ruang dengan mereka yang terlanjur jatuh cinta. Kendati daftar tuntutan kerja nyaris setinggi menara, blog ini tetap punya bagian istimewa di dalam buku agenda.
Walaupun begitu, tujuannya masih sama; jurnal daring ini hanya akan menjadi jendela untuk mengintip langkah yang sudah-sudah, bukan panggung, bukan mimbar. Padahal, dorongan untuk membuatnya jadi buku telah datang berkali-kali dari segala penjuru, bahkan dari mulut Nukila Amal—penulis mahakarya “Cala Ibi”— dan Mariati Atkah, seorang penulis sekaligus kurator andalan di Makassar International Writers Festival.
Blog tanpa arah ini juga kerap menjadi pintu masuk bagi kejutan-kejutan baru. Tahun 2017, ketika seorang pelukis jiran menyatakan ketertarikannya pada artikel Singapura 180°, ia merelakan satu sketsa menjadi ilustrasi tulisan itu. Alih-alin melukis, ia juga bekerja sebagai guru sekolah dasar di sana. Pada laman portofolio digitalnya, tampak unggahan dokumentasi penyerahan buku kolase karya-karyanya diserahkan kepada Megawati Soekarnoputri sebagai bingkisan kehormatan dalam kunjungan ke Singapura.
Hari ini, selain jurnal digital, Travendom menjelma jadi corong kolaborasi lintas disiplin ilmu. Bersama Fadrié Sjueeb—maestro seni rupa asal Ternate, blog ini mendobrak standar baku dalam penyajian tulisan perjalanan. Di sini, selain tanda baca, kalimat-kalimat juga punya nada. Diksi-diksi metaforis berdiri sejajar dengan ilustrasi abstrak surealis. Cara ini berhasil menetaskan sekian tanda tanya di kepala seorang pemimpin redaksi surat kabar di Maluku Utara.
Namun, apa pun itu, biarlah blog ini menjadi dirinya sendiri. Diri yang dibuat tanpa mimpi, yang lahir dan menemukan pembacanya sendiri. Satu yang penting, Travendom pernah menjerat seorang perempuan ke dalam jejak mendiang saudaranya di artikel Bau-Bau. Seperti jembatan, Travendom berhasil menghubungkan ketiadaan selama dua dekade. Kini, nama perempuan itu telah menjadi bagian inti di dalam ranji keluarga penulis.
Percayalah, bahwa tanpa perlu jadi buku, blog ini telah membukukan banyak persimpangan dan nama-nama tanpa gema yang kerap luput dari mata. Bisa jadi, perjalanan adalah tentang pergi, berpindah, dan pulang; tapi di sini, segalanya punya intonasi berbeda. Seperti filosofinya, Travendom tidak berteriak, tetapi bersuara. Terkadang, kota, laut, tiang pancang, atau mata angin tidak benar-benar menjadi benda mati di sini. Jika kelak kau temukan dirimu di dalam blog ini, yakinlah, itu bukan kebetulan.
Ternate, 15 Juni 2025.
Travel loud,
Aiya Lee
•
Musik untuk tulisan ini:
Tujh Bin — Bharatt, Saurabh
