Sebelum jauh bercerita, izinkan saya memperkenalkan Ester, perempuan gesit yang mengira Jakarta dan Depok masih satu provinsi. Bersamanya, kisah tentang Singapura, Malaysia, dan Thailand akan dimulai dalam beberapa hari lagi.
Kami berbagi tugas menjelang berangkat. Saya mengurus akomodasi dan menyusun itinerari, Ester mencari tiket dan menukar valas. Kami bekerja seperti biasa hingga segalanya menjadi kejutan. Pukul lima di sore yang kalut, saya mematung di toilet kantor ketika satu pun panggilan tak mendapat jawaban.
“Gue masih meeting nih, ketemu di bandara saja, ya. Infoin gue jalanan macet apa kagak.” — Ester, via sms.
Bukan perkara rapat atau tidak, namun dua jam lagi pesawat kami sudah terjadwal lepas landas. Sedangkan dia, satu jam sebelum boarding pun batang hidungnya tak kelihatan. Ini belum termasuk perjalanan dari Kelapa Gading ke Cengkareng, macet, pemeriksaan keamanan, serta antre di loket check-in dan Imigrasi.
Konon, rapat kala itu membahas kinerja karyawan dan evaluasi target perusahaan. Ester tak bisa memilih selain harus tetap duduk dan pura-pura mengerti. Siapa peduli jika perempuan itu harus segera angkat kaki dan pergi ke luar negeri?
Panggilan masuk ke ruang tunggu telah menggema di langit-langit bandara. Saya hanya punya dua pilihan: membatalkan perjalanan ini atau nekat berangkat dengan sisa rupiah yang ada. Kaki melambat di koridor penjaja suvenir yang sempit. Satu permohonan dikirim ke langit, meminta agar penerbangan ini ditunda hingga turunnya sang “juru selamat.”
“Halo, gue udah di bandara. Tunggu lima menit, gue lagi dandan di toilet.” Dia bahkan masih sempat bersolek.
Lima menit berlalu, Ester datang dengan rambut yang berantakan. Orang-orang tampak tegang, mengacuhkan awak kabin yang melempar salam kelelahan. Pintu ditutup, demo keselamatan dijalankan, emosi dipadamkan, doa-doa dipanjatkan.
* * *
Welcome to Singapore!
Wanita tua berkemeja hitam terlihat sibuk di balik loket, matanya awas mengamati siapa saja. Kini giliran paspor saya berpindah ke mejanya. Tak ada yang bisa diamati, selain halaman kosong yang bersih dari stempel negara mana pun.
“You looks like my ex-boyfriend. Welcome to Singapore!” Senyumnya merekah, mempersilakan saya dengan bahagia.
Kami tiba dengan penerbangan terakhir di bandara ini. Itu artinya harus pindah terminal dan tidur di selasar, karena tak ada lagi kereta yang menuju ke sentral.
Di sebuah kedai cepat saji, satu perempuan menghampiri dan meminta izin berbagi meja dengannya. Wajahnya oriental, berpakaian sporty, dengan rambut cokelat patah mayang. Saya tak mengingat namanya, kecuali sebagai pelancong asal Boracay yang memecahkan suasana lewat satu pertanyaan sulit.
“Apakah Bali dekat dengan Indonesia?”
Sekuriti Jahat dan Mumbai Imitasi
Menumpangi MRT dari Changi menuju City Hall, kami segera mencari operator bus tujuan Kuala Lumpur dan Bangkok. Sial, periode liburan tenyata berimbas pada tingginya permintaan tiket menuju Thailand dan Malaysia. Semuanya ludes terjual.
Ester mendesak saya untuk segera menyusun rencana kedua. Saya membuka peta, mencari lokasi hotel terdekat, menghitung jarak, kemudian mematikan telunjuk di sebuah titik, Geylang. Kali ini, mau tidak mau, suka tidak suka, kami harus melewati 5 hari 4 malam di negeri yang tak diinginkan.
Saya melangkah mantap, berjalan mendekati sebuah pos keamanan untuk bertanya cara cepat menuju Geylang. “Sila guna teksi kat interseksyen, sebab jauh and takde bas pergi sana.” Seorang sekuriti berbadan tegap memberikan nasihat tanpa menoleh dan tetap mengunyah permen karet.
Kami bergegas pergi dan tak langsung memercayainya. Saya meraih peta, mengamati setiap keterangan yang mungkin tertulis di catatan kaki, dan memang ada. Dasar bodoh!
Menggunakan bus SBS Transit, kami bergerak meninggalkan kawasan City Hall. Seorang pria India yang duduk di sebelah menawarkan bantuan untuk segala informasi yang kami perlukan. Darinya pula kami beroleh alamat masjid terdekat, rekomendasi hostel murah, kedai kopi terkenal, hingga jam operasional seluruh moda transportasi di Singapura.
“Halte yang kalian tuju tinggal beberapa meter lagi. Bergegaslah!”
Tunggu sebentar, kami baru berada tujuh menit di bus ini, sedangkan tempat yang dituju hanya tinggal sejengkal saja. Lantas Geylang di belahan bumi mana yang membuat sekuriti angkuh itu menyarankan kami untuk “Naik teksi sebab takde bas pergi sana?” Atas nama tongkat Musa, terkutuklah mulut beserta kumis dan segala kebohonganmu di neraka yang bergejolak.
Tiba di Lorong 1, kami percaya mampu menemukan alamat dengan mudah. Malang, tak satu pun warga lokal yang dijumpai sepanjang jalan. Pencarian berlangsung hingga tersesat di dapur restoran yang mempekerjakan para lansia, kemudian berakhir setelah dipersekusi resepsionis hostel homoseksual yang menolak reservasi karena Ester seorang perempuan.
Setelah segala drama, hostel berdinding cokelat pucat kini persis di depan mata, berdiri di sudut jalan dan dekat dari halte bus serta stasiun MRT. Kawasan ini disokong tiga kedai nasi lemak, minimarket, ATM center, apotek, sex store, dan hanya memerlukan beberapa langkah menuju pusat prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Strategis sekali.
Seorang perempuan melayani dengan ramah, lalu menyerahkan sepasang kunci untuk akses ke kamar di lantai empat. Bilik ini berkapasitas empat kepala untuk tamu segala gender. Usai melepas ransel, Ester menggoda saya berburu makan siang ke Little India.
Seperti namanya, kawasan ini memanglah miniatur India. Wangi dupa memenuhi sepanjang pedestrian yang disesaki perempuan ber-saree. Kiri-kanan diapit los-los tua berplang aksara Devanagari, dan dijaga segala batara dari kitab Mahabrata. Inilah Mumbai versi Melayu.
Gadis Ajaib dan Masjid Sultan
Hari menuju petang ketika kami kembali pulang. Ester menutup malam dengan meratapi nasib buruknya, ia dipecat sebelum berangkat ke negara ini. Saya meraih laptop dan merapikan dokumentasi perjalanan.
Ditemani lagu melankolis, kami mengintip dari balik jendela. Di bawah sana, seorang muncikari pemarah sedang melayani transaksi tiga lelaki tua yang menyewa tunasusila. Namun, hujan mengusir pertunjukan dan memandu kami dalam mimpi yang panjang.
Saya merobek pagi dengan “Selamat Paskah!” kepada Ester. Qi, seorang remaja belia masuk ke kamar dengan handuk yang masih melingkar di dada. Dia adalah tamu yang bergabung di kamar kami tadi malam, dia pun yang menukar posisi kasur dan mengambil adaptor laptop saya tanpa permisi. Dan oh, dia juga yang meletakkan kaus kaki di atas ransel kami dan mendengkur seperti orang kehabisan napas.
“Bukankah kau datang dengan seorang wanita, di mana dia sekarang?” Kami mencari satu perempuan tua yang memang tak kelihatan sejak pagi.
“Ibuku sedang berkunjung ke rumah saudaranya. Dia datang untuk menemaniku mencari materi penelitian siang ini. Kami akan kembali ke Guangzhou lewat jalur darat nanti malam, sebab tak ada hal penting yang harus kulakukan lagi di sini,” jawabnya.
Barangkali benar, tak ada hal penting yang harus ia lakukan di Singapura, misalnya bercermin. Lihat saja bekas pasta gigi yang masih menempel di dagu kiri.
Bagaimana bisa dia mengajak ibunya jauh-jauh dari Tiongkok untuk melihat perayaan kebangkitan Yesus, lalu pulang dengan perjalanan yang membutuhkan waktu setengah abad. Jika memang harus mengingat nama orang-orang paling aneh di dunia, saya pastikan Qi adalah salah satunya.
Matahari hampir tinggi ketika kami meninggalkan Qi untuk mencari sarapan sebelum pergi ke Masjid Sultan. Ester memilih untuk berhenti di Bugis Junction, menunggu saya menunaikan salat di maskot Kampong Glam.
Ibadah Jumat baru dimulai pukul dua belas siang. Saya takjub melihat sebuah masjid besar berdiri tegak di kawasan multietnis dengan jemaah dari berbagai negara. Kekaguman berlipat ganda saat mengetahui tata laksana ibadah dan pengantar khotbah masih menggunakan Bahasa Melayu.
“Selamat datang! Kami baru akan memulainya dua puluh menit lagi. Setelah selesai salat, seluruh jemaah diundang ke halaman belakang untuk makan siang bersama.” Satu marbot muda menyampaikan pesan ketika saya mengajaknya bersalaman.
Sebentar, ada satu hal yang mencuri perhatian saat itu. Seorang turis Jepang dengan celana setengah lutut mencoba masuk ke dalam masjid. Anehnya, tak ada satu pun penjaga yang berupaya mencegahnya.
“Aku penasaran dengan doa-doa yang keluar dari pengeras suara. Kupikir aku harus masuk dan mengambil beberapa foto untuk kutunjukkan pada dunia bahwa mereka dalam ketakutan yang sia-sia. Tak ada bom di sini. Mana mungkin gedung-gedung tinggi dapat diledakkan hanya dengan bubur sebelanga?” Ia menutup kunjungan dengan meminta seorang jemaah memotret dirinya.
Keluarga Baru
Tak ada hal menarik di hari ketiga. Kami hanya memasukkan nama-nama mainstream ke dalam daftar eksplorasi singkat ini. Raffles Landing Site, Esplanade, Vivo City, dan sebuah pantai sepanjang 300 meter di Sentosa Island adalah beberapa di antaranya.
Saya dan Ester kembali ke hostel pukul delapan malam. Kini kamar telah sepi, Qi telah pergi dari kehidupan kami. Dua jam kemudian datanglah penjaga hostel beserta empat tamu dari Jakarta. Mereka sengaja menempatkan orang-orang itu di lantai yang sama karena mengetahui kami berasal dari Indonesia.
Malam yang tenang menjadi pecah berkat obrolan gila bersama Dede, Melisa, Ivan, dan Adit. Kami merayakan perkenalan dengan pesta mie instan kebanggaan bangsa. Dede menutup malam lewat himbauan yang lezat, “Istirahat, yuk! Besok pagi kita berburu nasi lemak sama-sama.”
Konspirasi
Singapura memanggil hujan di hari keempat, sebuah alasan tepat bagi para pemalas untuk pergi ke kamar mandi. Selesai sarapan, kami bergegas pamit dan berkemas untuk pulang. Ester mengambil alih dan menyusun rencana kunjungan. Saya melihat nama Orchard Road, Merlion, Marina Bay, Rafless Hotel, dan The Helix Bridge di daftar catatan. Di halaman kedua ia menempatkan Mustafa Center, China Town, dan satu tempat yang tak asing di kepala.
“Kok ke Little India lagi, sih?”
“Gue mau beli roti canai, barangkali ada yang beda kalau dibikin langsung oleh orang India,” kilahnya.
Di kota yang penuh gerimis, kami menunaikan seluruh tempat satu-persatu. Apa daya, langit yang tak bisa diajak kompromi memaksa kaki berhenti untuk berteduh di simpang Orchard. Saya melempar ide agar kita berpencar dan bertemu kembali di Mustofa pukul delapan malam, Ester menyetujuinya. Sempurna!
Barangkali benar, segila-gilanya perempuan pengelana, mereka akan berakhir di toko pakaian, sebab itu yang Ester lakukan. Saya bergegas menjauh dan mencari bus untuk kembali ke Kampong Glam.
Dari sebuah kedai di sudut jalan, seseorang telah menunggu dengan tenang. Penerbangannya telah tiba tadi siang. Sebuah paspor berbendera Lebanon menemaninya terbang dari Beirut ke Singapura. Ia datang menemui pujaan hati yang beradegan pergi jalan-jalan. Dan Ester, dia bahkan tak mengetahui perjanjian ini. Seperti sebuah konspirasi, inilah rahasia yang tak boleh bocor sama sekali.
Thank You!
Puas berburu parfum, kami bergegas menuju bandara. Ester bahkan tak menanyakan saya ke mana saja ketika berpisah siang tadi. Kota ini tampak berbeda dari dalam kereta, sebab “seseorang” telah menitipkan banyak warna di dalam kepala.
Saya bahkan baik-baik saja ketika lima botol Hersey’s dicekal petugas Bea Cukai lantaran melebihi ketentuan bawaan. Pun tak merasa gelisah untuk pulang ke Jakarta, atau kembali bekerja di kantor yang tak tahu-menahu bahwa alasan pura-pura sakit telah mengantarkan saya ke Singapura.
Tak ada yang bisa menebak jika semuanya berbalik dari seluruh rencana yang telah dipahat. Bermula dari tempat yang tak diinginkan, kini menjadi negara yang senantiasa diingat. Sebelum pesawat mengudara, saya membaca satu pesan yang dikirimkan kontak bernama “Sayang.”
“Have a safe flight, I love you!”
Ester Berliana, AMH, Melissa Mangunsong, Ivan Tambunan, Imelda Hutagalung, Tatiana Gosal, Aditya Buanareksa.
Tulisan ini didukung oleh sketsa luar biasa dari Anita Ryanto.
10 Comments. Leave new
Terima kasih kembali sudah bersedia membaca artikel paling panjang di blog ini. Kapan-kapan kalau berkunjung lagi ke tempat family, saya nitip nasi lemak Al Junied, ya. Soalnya saya baru mau balik ke Singapore kalau pintu MRT-nya sudah bisa bilang, "Ciluk Ba!" #eh :))
Sangat lucu dan menghibur, cara anda bercerita luar biasa seperti penulis professional, jadi ingat pengalaman saya juga tahun 2012 ke singapura,beruntungnya saya punya family yang tinggal di apartemen di dekat MRT Al Junied. Yang paling saya ingat dari MRT adalah bunyi peringatan saat pintu akan tertutup tit tit tit, i miss singapore.. Thank you for your great blog.
Ah, sudahlah.. Jangan kau ungkit-ungkit tragedi betis bekonde, sungguh seperti ingin mengubur diri sendiri.
Sok, silakan balik lagi kesana. Titip salam sama nasi nenas palsu yak 🙂
Wahahaha, ngebayangin gempornya :D, tapi ceritanya seru! dan runut..
#jadi pengen visit lagi, penasaran sama Little India
Ciecie yang mau jalan-jalan kere ke negeri singa. Good luck yah Yen 🙂
hehe lucu juga gaya ceritamu, ketemu blog ini saat aq lagi cari referensi bwt jalan2 kere di sgp. tenkiu inpohnyah…
Wah.. Makasih lho Lenny, jangan kapok bertamu kesini yah 🙂
hai aiya!! ngakak juga baca ceritamu hihih makasih udah berkunjung ke http://len-diary.blogspot.com/ mampir lagi ya ntar 🙂
Hei Maisya! Makasih sudah mampir kesini, maaf kalau ceritanya kepanjangan yah. Maklum, saya rada-rada cerewet kalau sudah ngeblog. Salah satunya, yah.. cerita Singapore ini. Salam 🙂
Hehe.. Walaupun mungkin udah ribuan (atau jutaan?) orang Indonesia yang ke Singapore, cerita masing-masing orang pasti dengan caranya sendiri. This is one of them! Senang 'nyadar' ke blog ini. 😀