Saya kembali setelah tiga minggu berkelana di Jakarta dan Palembang. Kamis yang terik saat AirAsia 7520 mengecup landasan Ngurah Rai. Dari meja kecil di sebuah kedai kopi Amerika, saya meraih ponsel dan mematikan fitur Flight Mode selagi menunggu caramel macchiato disajikan. Ping! Satu notifikasi dari Fréia mengetuk baki peberitahuan.
“Mampir ke sini sebelum pulang ke tempatmu. Aku berkencan dengan artis paling tampan di negeri ini. Percayalah!”
Dewa, sopir langganan dengan sigap memandu kemudi, menuruti perintah menuju ke Ground Zero di Legian. Kami berhenti di mulut Poppies II, saya lanjut berjalan seratus meter ke indekos Fréia yang berada di balik punggung Sky Garden, sebuah kiblat bagi remaja pemabuk Australia.
“Sini, masuklah! Sekarang kau percaya, bukan? Setelah berpapasan dengan Justin Bieber dan duduk di pangkuan pemain klub Eropa tiga pekan lalu, kini aku bahkan telah mengetahui tahi lalat paling rahasia duda seksi se-Indonesia.” Mata kanannya mengejap dengan genit, lalu menawarkan secangkir teh tanpa gula.
Saya menyeretnya ke balkon, lantas menyerangnya dengan banyak tanda tanya. Belum tuntas ia berterus terang, ponsel berdering di pengakuan dosa nomor lima. Mas Her, sepupu dari garis keluarga Bapak menelepon tiba-tiba.
“Halo, Mas..”
“Kamu di mana? Mas lagi di Denpasar, sedang transit delapan jam bersama mbakyu dan dua kemenakanmu. Malam nanti kita ke Jember, mudik ke rumah Nenek. Mau ikut, ndak?”
“Aku sudah di Bali, kebetulan baru mendarat dua jam lalu. Ini mungkin mau istirahat dul…”
“Kamu sudah 20 tahun ndak pulang ke Jember. Nenek pasti senang kalau tahu kamu ikut.”
“Nganu… tapi Mas, besok pagi aku harus ke…”
“Ayolah, kapan lagi kau bisa ke sana?!”
“Yasudah, sampai jumpa di Terminal Ubung pukul tujuh nanti malam ya, Mas.”
Kalah telak.
Tanpa pikir panjang, saya bergegas meninggalkan Fréia yang separuh telanjang. Tujuh jam tidaklah lama, bahkan masih harus dibagi dengan beres-beres kamar, mencari penatu kilat, berkemas, bertemu miss Jeje, dan mengambil dokumen kerja di kantor Pablo yang dijaga banyak kucing. Hih!
Malam itu, tepat pukul sembilan, bus yang kami tumpangi bergerak menuju Pelabuhan Gilimanuk. Perjalanan ini menghabiskan lima jam waktu tempuh. Belum termasuk antrean naik kapal, pelayaran menuju Ketapang, dan lintas darat dari Banyuwangi ke Jember.
Di sini, di bus tua berjendela kusam dengan gorden kotor berbau, saya menggantungkan harapan demi bertemu Nenek tercinta. Bapak menelepon pukul dua pagi, hanya untuk menyampaikan jika keluarga besar sudah menunggu kedatangan kami. Dari intonasinya, Bapak terdengar senang mengetahui saya ikut pulang.
Di belakang, Mas Her antusias mengupas setiap tempat yang kami lewati. Saya mendekap si bungsu, memastikan kepalanya tegak dan tetap nyaman di pangkuan. Mobil melaju kencang, suara muazin timbul-tenggelam. Di baris depan, bau balsam menyerang dari kursi penumpang lansia. Di pojok lainnya, seorang anak dirundung siksa muntahnya sendiri. Subuh yang lengkap dengan polusi asap rokok, keringat, aroma kopi, dan wangi mie ayam bawang. Seperti bahtera Nabi Nuh, bus ini memuat apa saja yang ia kehendaki.
“15 menit lagi kita sampai di Terminal Tawangalun!” Kondektur menyadarkan para penumpang yang kelelahan.
Kami tiba di Jember pukul tujuh pagi, saya masih terharu bisa datang lagi ke sini. Tawangalun bukan sekadar terminal. Ini adalah tempat ketika Bapak memutuskan merantau sebelum ia remaja. Kepergian itu meninggalkan jarak tanpa kabar yang cukup lama, sampai ia bertemu Ibu dan menikah di Maluku. Setelah berumah tangga, Bapak kembali di tahun 1994. Ia pulang membawa adinda pertama, saya, dan Ibu.
Sebuah mikrolet mendekat, menawarkan jasa angkutan menuju Lojejer. Barangkali, Jember hari ini adalah tentang mengingat sebanyak-banyaknya, atau menyoraki mendung yang berhasil memasung matahari. Badan terasa lelah saat kepala sibuk memutar banyak kenangan. Saya terlalu lama melewati hari sebagai musafir, berkelana ke sana kemari, jarang mandi, serta tak lagi mengingat tanggal dan hari.
Pagi itu, atas nama embun yang tak rela jatuh dari daun-daun, Nenek berdiri dengan senyum paling rindu. Saya mendekapnya erat-erat, seperti orang-orang hilang yang akhirnya saling menemukan. Mendadak ponsel bergetar, menampilkan pesan dari baki pemberitahuan andalan.
“Dia sudah kembali ke Jakarta. Padahal aku masih merindukan wangi lehernya.”
Perempuan gila!