Apa jadinya jika seorang pejalan Maluku yang menyenangi segala tentang Bali, datang ke sebuah pulau kecil di Papua, yang arsitekturnya warisan Belanda, dan warganya penggila zumba, bola, serta musik Latin Amerika? Terlalu rupa-rupa!
Doom, adalah daratan seluas 500 hektare yang mengapung tiga kilometer dari bibir Kota Sorong. Pulau ini dihuni oleh 3000 kepala keluarga, dan menjadi cikal bakal terbentuknya peradaban Sorong, serta hal-hal yang mengatasnamakan modernisasi.
Saya ialah satu dari lima belas orang yang menumpangi perahu kayu bermesin 13 PK. Anak muda menyebutnya jonson, orang tua mengenalnya sebagai taksi laut, dan orang mabuk memujinya sebagai moda penyeberangan cuma-cuma.
Pukul sembilan malam, perahu bertolak dari Halte Doom Sorong menuju dermaga di Pulau Doom. Dikawal nyanyian motoris yang terdengar seperti puji-pujian setan, saya mendekat ke jendela, menopang dagu menikmati pelabuhan peti kemas dan mercusuar Pulau Dofior.
Sepasang tunawicara memadu kasih di baris depan, sedangkan tiga nona Biak sibuk mengutuk harga pinang di bangku belakang. “Lima ribu per kepala,” motoris mengusir lamunan ketika kami merapat ke kaki dermaga.
Kawanan becak mendekat, bersaing merebut penumpang. Di ujung jembatan, satu perempuan pirang sedang menggenggam ikat pinggang, siap melabrak enam budak berisik yang berenang telanjang bulat malam-malam.
Di perjalanan ini saya tinggal di rumah kepala katering junjungan. Dialah Maar Yakeba, wanita enerjik berdarah Beser yang semangat mengajarkan banyak hal tentang memasak. Bersama Nando anaknya, saya dilatih membuat panada, lontar papua, dan apem labu setiap pukul tiga sore.
Pulau Doom terletak di Distrik Sorong Kepulauan dan terbagi atas dua kelurahan. Rumah Yakeba berada di Erka Empat, sebuah lingkungan dengan populasi penjual pinang, penutur mop, pemain bola, hingga instruktur zumba terbanyak.
Barangkali, Doom juga merupakan satu-satunya tempat di Papua yang menjadikan becak sebagai moda transportasi utama, dan orang Papua sebagai pengayuhnya.
Pada era Onderafdeling, Doom adalah basis Hoofd van Plaatselijk Bestuur yang cukup berpengaruh di wilayah Pulau Irian. Ini seperti pusat pergudangan terkemuka di bawah pengawasan menir “Van Oranje.”
Mewarisi tata kota Belanda, rumah-rumah tropis bergaya Eropa juga didukung oleh instalasi air terpadu, pembangkit listrik, hingga terowongan paralel buatan Jepang yang dikenal sebagai lovrak.
Tak jauh dari lapangan bola, berdiri gereja misionaris di persimpangan jalur laut, kokoh berseberangan dengan sebuah toko kelontong Tionghoa dan satu-satunya PAUD di pulau ini. Dua ratus meter ke barat, menjulang menara masjid tertua dengan tinggi 12 hasta.
Bukan itu saja, pada beberapa rumah penduduk, terdapat satu pos kecil dilengkapi lonceng dan salib di atapnya. Lonceng-lonceng itu dibunyikan sebagai pengingat waktu ibadah, berita kedukaan, hingga upacara pernikahan.
“Hanya pemabuk berdosa yang bisa membunyikan lonceng-lonceng ini melebihi semboyan tanda bahaya,” kata Mega, seorang kemayu mantan narapidana.
Malam hari, ketika sebuah pesta dansa digelar, orang-orang bergegas mencari pasangan. Ada yang datang dari Sorong, ada pula yang dari pulau-pulau seberang. Pesta, bagi masyarakat sini merupakan sukacita luar biasa. Mereka menari sampai pagi, diiringi musik Ambon, India, Halmahera, hingga Latin dan Afrika. “Ini dansa pukul tanah!” Mega berbisik melihat saya yang keheranan.
Dari Mega saya digiring ke bilik rahasia Oginawa, seorang kemayu Waisai yang fasih berdialek Ternate, tetapi ingin menjadi geisha dan tinggal di Jepang. Saya meraih kursi rotan sementara yang lain bersila membentuk separuh lingkaran. Berderet dari kiri ke kanan: Anindita, Mega, Oginawa, Kencana, serta Maria.
“Orang-orang memanggil kami dengan sebutan ‘bambu’, menggantikan istilah ‘banci’ atau ‘waria’ yang terdengar merendahkan,” ucap Maria.
Dua botol sopi yang dicampur soda telah digilir searah jarum jam. Kini mereka meracau kepanasan. Sebagian terkapar, sebagian berkelakar di bawah sadar. Saya menekuk lutut, menahan tawa, dan membuka jendela demi menuruti dada yang kehabisan udara.
Subuh tiba ketika pesta di penghujung selesai. Nando datang menjemput untuk kembali ke rumah. Di jalan pulang, kami melewati setapak gelap berbau pesing yang basah. Banyak remaja berjejer di selokan yang kering, ada yang berbagi pinang, memetik gitar, bernyanyi, hingga menghitung bintang yang jelas-jelas tak bisa ditakar.
“Ini torang lewat jetty andalan. Biasanya jam begini Sayuti lagi tunggu de laki pulang bawa kiriman. Nanti kalau su tiba, dorang langsung ke Oginawa pu markas untuk dipake sama-sama, termasuk aparat. Pokonya su jadi rahasia umum.” Nando menutup cerita dengan melompati parit lebar di samping sumur tua.
Saya mengikutinya sambil meyakinkan suara pijakan tak sampai ke telinga Yakeba. Kami masuk ke kamar, saya mengunci pintu, menarik selimut, dan mencoba percaya jika pengalaman ini terlalu berbahaya.
Siapa menyangka jika dua jam lalu saya berpesta dengan kawanan pengedar di rumah bandar narkoba.
•
Musik untuk perjalanan ini:
Fuiste Mía — Frank Diago
Play on Spotify
•
*Seluruh nama disamarkan untuk alasan keamanan.
2 Comments. Leave new
Danke, Els.
selalu luar biasa 🙂