Darah tempias dari leher-leher yang berserah. Belati tajam menebas jalur udara, memutus detak jantung yang memompa segala tenaga. Puluhan kerbau melompat kesakitan, kejang-kejang, lalu tumbang. Tanah ditukar dengan merah, melahirkan iba sekaligus kagum yang tak bernada. Toraja memasung sedih lewat sukacita riang gembira.
Mei 2014, empat pemuda dipersilakan duduk di panggung utama, menyaksikan upacara besar yang dipersembahkan kepada orang-orang yang telah pergi. Inilah Rambu Solo’, ritual sakral yang membakar nominal tanpa menyesal. Segala persembahan diarak keliling lapangan, dikawal musik pengobat duka dan tarian pelipur lara.
Orang Toraja percaya, kematian bukanlah mimpi buruk, melainkan proses mencapai bahagia selama-lamanya. Jasad dan martabat adalah dua hal yang paling dihormati di sini. Semakin banyak tedong dijegal, semakin cepat roh mencapai kekal.
“Ketika meninggal, mereka tidak benar-benar pergi. Badan melebur dengan alam, tetapi tidak dengan jiwa. Untuk menyempurnakan kematian, kami harus menggelar ritual untuk memandu arwah ke nirwana.” Ungkap Ela, seorang pramuwisata.
Ela tidak berlebihan, sebab jenazah yang belum disempurnakan memang dipelihara di dalam rumah. Mereka dirawat, diberi makan, ditemani tidur, hingga diajak berbicara. “Mereka bukan mati, hanya terbaring sakit,” tambahnya.
Masyarakat Toraja adalah penduduk agraris yang hidup di lembah-lembah dan lereng yang dingin. Kelahiran akan berlangsung di rumah-rumah panggung yang bermartabat, sedangkan kematian memahat nama-nama mereka di dinding batu suci yang tinggi.
Seperti lumrahnya segala bangsa, orang Toraja adalah penganut animisme yang taat. Kendati demikian, mereka sudah memiliki tatanan dalam menjalankan kehidupan maupun kematian. Penyebaran Islam yang masif di wilayah selatan membuat Pemerintah Hindia-Belanda mengizinkan penginjil Eropa menggarap ajaran Kristus di wilayah utara.
Masuknya agama samawi tidak melenyapkan ritual-ritual tua. Konsep ketuhanan Abrahamik justru melebur dalam upacara adat yang dibina hingga kini. Tidak peduli Kristen atau Islam, ketika meninggal, mereka harus melewati penyempurnaan sebelum pulang bertemu Tuhan.
Meskipun begitu, jalan menuju sempurna tidak semudah membajak sawah atau mencari makanan ternak. Pelaksanaan Rambu Solo’ harus menunggu kesiapan mental dan finansial. Menurut Ela, ketika ritus hendak digelar, keluarga yang merantau harus kembali ke Toraja. Semua pulang membawa penghormatan kepada sang mendiang.
Kompleksitas ritus kematian tidak hanya bertumpu pada tahapan-tahapan rumit dan anggaran yang besar, tetapi menjalar hingga ke akar, menembus sekat-sekat perbedaan. Rambu Solo’ adalah perayaan, kepergian yang mengahapus jarak dan kesedihan.
Toraja bukan sekadar Makale, Tongkonan, Kete’ Kesu, Alang Sura’, atau Rambu Tuka. Bukan pula tentang pohon Tarra, Lemo, Suaya, Londa, serta Batutumonga. Toraja adalah tanah yang genap, yang memikul banyak cawan berisi sumpah abadi.
Jika di Kambira bayi-bayi kaku ditanam di tubuh pohon, lalu wajahnya dipalingkan dari rumah agar arwah tak menuntut pulang, maka saya ialah antonim yang memuja Sangalla dan terperangkap di Sesean lama-lama. Toraja adalah candu, negeri paling gila yang mahir meracik rindu.
Barangkali benar tidak ada kematian di tanah ini. Mati ibarat koma, tak ada yang pergi dan ditinggalkan. Semua hanyalah proses berpindahnya kehidupan semu menjadi kekal tanpa pilu. Sebab mereka memang percaya, titik bukan selesai.
Musik untuk perjalanan ini:
Federkleid — Faun
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Louie Buana, Zein Patradinata, Sri Maharani Budi, Daeng Ela.