Kamis diserang gerimis ketika Nando tiba selasar. Ia melepas sendal, menampik tempias, lalu mendekat dengan garis wajah yang menuntut perhatian. Rambutnya basah, suaranya bergetar. Dia kembali dari dermaga setelah mengutuk seorang kawan yang menjanjikannya hasil pancingan.
“Hari ini ikan ditukar dengan satu kabar baik. Besok kita ke Sorong, aku dapat rombongan dari Jakarta yang hendak ke pulau jauh esok lusa. Kau harus ikut!”
Saya menutup buku, melipat tangan, dan mengernyitkan dahi sebagai tanda belum mengerti. Mendung disanggah dua gelas teh panas dan topik perihal uang.
“Mereka adalah pejabat yang memerlukan pelayanan terbaik. Kau jadi pemandu, aku juru masaknya. Kita akan bermalam di pulau pribadi yang lebih indah dari Wayag di Raja Ampat!” Janjinya.
Kunjungan ke Sorong pun dilakukan untuk membeli bahan makanan dan obat-obatan. Maklum, kami tinggal di Doom, sebuah pulau kecil yang terpisah 2 kilometer dari bandar peradaban.
Jumat yang mendidih menyokong lancarnya segala urusan. Empat rencana tuntas, tiga tempat ditumpas. Dua pemuda kini kembali dengan puluhan tas belanja yang diangkut becak berwarna usang. Tak ada lagi yang perlu dilakukan kecuali berkemas dan tidur dengan pulas.
Sabtu pagi, sepasang perahu merapat tepat di ujung dermaga, menunggu belasan pejabat yang tiba sepuluh menit kemudian. Beberapa berpakaian rapi, wangi, dibalut jaket merah berlogo perusahaan migas negara.
Jangkar ditarik, mesin-mesin dinyalakan. Titiran berputar mendorong perahu dengan maksimal. Riuh riang mendadak hilang, berganti pucat pasi yang menyembah kata diam. Pejabat-pejabat itu takut tenggelam.
Kami meninggalkan Sorong menuju Andau di Kepulauan Fam, sebuah gugusan yang berada 71 mil dari barat Kota Sorong. Pelayaran ini melumat tiga jam perjalanan, melewati zona konservasi terumbu karang, kerajaan bahari, dan laut dwiwarna yang memukau.
Siapa peduli jika pemandu rombongan baru pertama ke tempat ini. Setidaknya, para pejabat itu harus percaya bahwa mereka dipimpin orang yang tepat, orang yang diam-diam dijebak Nando untuk terlibat.
Andau adalah sinonim keindahan. Pasirnya kinantan, lautnya berpendar kerak terusi. Tak ada kehidupan di sini, kecuali sebuah pesanggrahan dengan empat kamar panggung yang dipagari pinus-pinus penantang langit.
Saya menata alat makan, membantu Nando menyajikan santapan. Para pejabat telah larut dalam tenang. Mereka bersila di sebuah balai berlantai papan, menanti senja memuntahkan soga di cakrawala.
Asap mengepung dapur, memenuhi dinding yang disekat ruas bambu. Bara melahap kayu bakar dan sabut kelapa yang kering. Di atas api Nando menanak nasi, lodeh, dan sekarung kepiting bumbu balado. Bos-bos bernyanyi, memanggang ikan dan meneguk kelapa di halaman.
Pesta berlangsung hingga larut, penuh gempita, berlimpah tawa, dan rahasia-rahasia yang tak lagi memiliki penyangga. Semua jatuh dalam kehangatan yang setara, hingga segalanya hanyut dalam mimpi tanpa suara.
Ketika hening, saya melepas selimut lalu berjalan ke pantai gemuruh. Cahaya telah hilang, meninggalkan tajam angin selatan dan titik-titik menawan.
“Lakukanlah, sebelum terlambat!” Batin mendesak.
Kaki membeku, tangan menanggalkan seluruh pakaian. Tak ada lagi suara dan pertimbangan, tubuh telanjang tanpa busana. Kepala yang cemas kini terbenam di laut yang tak pernah merindukan siapa-siapa. Hangat. Senyap. Gelap.
Pukul dua pagi, ketika orang-orang kehilangan dunia dan penglihatan, seorang pemandu merayakan perjalanannya di lautan raya. Tumitnya bersorak, hatinya lengkap. Dia berdansa, meniru tarian alga yang menyala-nyala.
Tengah malam buta, purnama menyetubuhinya terang-terang. Lama-lama.