Bombardier ramping menukik turun, merobek mendung yang membungkus pucuk gunung. Kilat beradu terang, berlomba memotret keheningan. Lampu kabin diredupkan, suara Michael Jackson memenuhi gendang telinga, menyumbat ketakutan saat pendaratan berbahaya dilakukan.
Roda berdesis menggilas punggung El Tari yang licin dan mengkilat. Pandangan melompat ke luar jendela, menyaksikan bangkai “Merpati” dipagari ilalang tinggi. Orang-orang memuji seluruh kru sebelum turun menginjak Bumi. Kupang mengingatkan kami tentang mati.
Kota ini adalah sinonim dari siang yang hitam dan daun-daun lontar yang menawan. John, seorang pengendara taksi berdendang dengan lepas sembari memompa pedal gas. Kakinya lincah memacu sedan tua untuk berlatih bunuh diri.
Sendy menunggu di persimpangan Kuanino, menjemput kami yang tersesat beberapa kali. Tak jauh dari sana, saya dibawa ke bangunan merah kusam, sebuah griya yang disewakan harian untuk para pejalan. Kami disambut oleh Noni, perempuan senja dengan lipstik warna kapisa. Lewat tumit yang telanjang, Noni memimpin langkah menuju kamar di lantai dua.
Bilik ini cukup luas, dilengkapi kamar mandi, tempat tidur, almari, wastafel, lampu baca, dan satu kabinet dengan Alkitab serta salib di atas meja. Bukan, bukan untuk hiasan. Kitab itu disediakan sebagai jimat pengusir gelisah. Siapa menyangka jika saya akan melewati dua malam di kamar yang berseberangan dengan sebuah ruang jenazah.
Lupakan tentang lelembut, tubuh terlalu rapuh untuk menuruti rasa takut. Pukul sebelas malam saya mengunci leding, menarik selimut, dan membuka pesan dari Sendy yang tiba-tiba berdenyut, “Selamat istirahat! Jangan lupa bangun sarapan.”
Gelap berganti pagi, kami bertemu di sebuah kedai yang tak jauh dari griya. Hari kedua dibuka dengan topik pasal kunjungan dan semangkuk bubur ayam kelebihan garam. Ketika tandas, Sendy pamit membeli babi. Di sudut jalan, seorang pemuda merenung menunggu penumpang. Saya mendekatinya, lalu menyewa jasa sebagai pemandu keliling kota.
Dialah Edo, lelaki gesit berkulit hitam manis yang mematok tarif di bawah gratis. Dari Kuanino kami bergerak ke Naikoten, sebelum akhirnya berpaling ke Oelnasi, sebuah desa yang merawat satu dam penawar gersang. Inilah Rabu siang yang bergulir tanpa tujuan.
Kupang di babak pertama adalah tentang pertemuan di Nusa Cendana, kapel putih Subasuka, senja Bendungan Tilong, dan bahu jalan yang diselimuti bunga-bunga flamboyan. Ketika matahari tenggelam, langit berubah kelam menukar petang berselendang hujan.
Saya kembali ke griya, bergegas mandi, dan berkemas untuk pulang ke Denpasar besok pagi. Namun, rencana tinggal rencana. Lewat satu dokumen hijau tua, kordinat berganti hanya dalam sekejap saja. Tak ada lagi tentang Bali, perjalanan ini bersambung jauh ke tanah Dili.
Menumpangi minibus renta, pikiran melesat meninggalkan Maubara dan beberapa janji. Selain memeluk banyak ingatan, tangan juga mendekap satu amanat dari seorang pejalan yang kesepian.
Namanya Martin, pria Belanda yang menikahi seorang pendeta berdarah Sumba. Pada malam terakhir ketika masih berada di Dili, Martin mengetuk kamar pelan-pelan. Senyumnya gugup, wajahnya lemas mendengar saya akan ke Kupang esok pagi. Telapak tangannya menggenggam sebuah harapan. Harapan yang terlipat selama berbulan-bulan.
“Aku titip ini untuk istriku, urusanku masih banyak, bahkan sudah tiga bulan belum pulang. Jika kau bersedia, Tuhan tidak akan tutup mata.”
* * *
Seorang perempuan menunggu di titik patokan, menjemput saya yang tiba dua jam kemudian. Inilah Jenny, istri Martin yang menjadi tokoh di babak selanjutnya. Pertemuan ini adalah tujuan dari amanat yang dipikul delapan jam perjalanan.
Martin mendatangi saya karena Jenny, saya menolong Jenny karena Martin, Jenny menjemput saya karena Martin, dan semua tolong-menolong ini terjadi gara-gara Martin. Maka terpujilah Martin!
Dari Oesapa kami bergeser ke wisma langganan Martin di Todekisar. Tak seperti wisma pada umumnya, ini hanyalah rumah tua yang disulap sebagai titik singgah pengelana. Cat putihnya telah pudar, jatuh bersama kepingan kaca yang tak lagi mencintai jendela.
Menurut penjaga wisma, Martin telah memesan sebuah kamar yang berdampingan dengan Jenny. Saya tak perlu mengeluarkan biaya selain menyimpan barang dan pergi bervakansi. Kupang di babak ini disesaki nama besar Lasiana, Taman Nostalgia, dan seporsi kakap bakar yang dihargai dua puluh ribu saja.
Edo menelepon pukul delapan, mengabari jika dua jam lagi dia hendak datang bersama istrinya. Saya bergegas pulang, berlari menampik gerimis yang menghujam paru-paru Kota Lama.
Pukul sebelas malam dua pasutri berdiri di selasar yang basah dan gelap. Saya menyambut dengan peluk, disusul suguhan teh hangat dan jabat tangan dari Jenny. Kunjungan ini tak berlangsung lama, hanya silaturahmi berhadiah bingkisan dari Lina, istrinya.
Pukul satu, seorang lelaki membawa tiga gelas kopi dan sepiring kudapan. “Kenalkan, namaku Ony Meda, pengawas wisma ini,” katanya. Temaram lampu dan suara angin selatan menggenapi obrolan hingga subuh menjelang. Di ruang tengah yang hangat kami mengupas Flobamora, tradisi Larantuka, perangai manusia, hingga rahasia alam dan antariksa.
Saya mengangkat bendera putih dan bergegas kembali ke kamar. Sebelum jatuh ke peraduan, tangan meraih bingkisan, membuka kotak yang dibalut perekat dari koran bekas. Di dalamnya berisi dua bungkus se’i sapi, satu tenun kuning sepanjang lengan, dan sebuah surat yang ditulis oleh tinta yang gemetar.
“Kaka nyong, maaf kami cuma bisa kasih ini. Itu tenun kesayangan Lina yang saya minta sebagai tanda saudara. Kaka sudah seperti keluarga.” — Edo.
Jantung seketika berhenti, memberi jeda kepada mata yang meluapkan haru membabi-buta. Tak hanya benang, tenun ini juga dipintal oleh doa, harapan, perkenalan, serta orang-orang baik dan seluruh kisah tentang Kupang. Selain pertemuan, Kupang menitip ingatan lewat sebuah petuah yang dikutip Ony Meda pada obrolan tadi malam. Petuah yang dilahirkan seorang perempuan untuk menjaga alam dan memelihara kemanusiaan.
“Batu adalah tulang, tanah adalah daging, hutan adalah rambut, dan air adalah darah.” — Aleta Baun
•
Musik untuk perjalanan ini:
You Rock My World — Michael Jackson
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Sendy Mooy, Edward Nenobesi, Marcelina Kiapoli, Noni Para, Martin Feldbrugge, Jenny Haramau, Ony Meda, Pablo Budjana.
1 Comment. Leave new
Terharu sama kak pung carita e.. :')