2017, Preah Monivong ibarat Jakarta 10 tahun silam; sibuk, sesak, jauh dari rindang. Tuk-tuk dan truk saling sikut tanpa takut. Di satu simpang, sepasang lansia menarik pedati, memuat babi dan tumpukan sawi. Hijau jadi merah, mesin berhenti, tumit-tumit berlari. Seorang artis mengecup gawai di papan iklan, di bawahnya tiga budak bertukar liur, menggilir gulali hasil patungan.
Di tanah yang sama, matahari membelah diri, melahap ruas Kamet, Pasar Sentral, dan spekulan penjaja bualan. Bangunan pasar ini mencolok, megah, persis yang diharapkan Jean Desbois dan Louis Chauchon, pasangan arsitek yang mendambakan struktur berbeda di era penindasan jelata.
Lain Sudra, lain pula Brahmana. Di tenggara, menjulang istana kuning menyala, sebuah maskot berpindahnya urat nadi Oudong ke Phnom Penh, warisan Norodom. Raja pegang kemudi, biksu-biksu berbaris rapi, menjahit langkah, memberkati kota. Rakyat melarung penat di seberang. Perahu-perahu berebut dermaga, menyaksikan Tonle Sap-Mekong bertemu di bibir delta.
Chea Lin, perempuan paruh baya sedang menggandeng dua pemuda. Seperti pengawal, keduanya patuh pada perintah, menuruti ibu angkat mereka. Por Hay, putra sulung Chea Lin sibuk berperan sebagai buntut rombongan, sesekali menjadi mat kodak dadakan. “Cium ibu saya. Nah, seperti itu, tahan.” Cekrek!
Matahari tinggal separuh, bersiap jatuh, sungguh-sungguh. Lampu-lampu silang terang, meliputi kota dan gang-gang pelipur kesepian. Tuk-tuk menepi di antah berantah, menurunkan tiga pemuda bingung dan perempuan pengendali arah. Dengan sumringah, Chea Lin menjepit serangga, menimbang tarantula, katak, ular, dan apa saja yang mati dijilat api. “Ciciplah!” Tawarnya mantap.
Sabtu lengkap tanpa cacat. Tuk-tuk putih melindas jalan, melewati segala persimpangan. Di belakang kemudi, empat kepala bertepuk tangan, merayakan perkenalan, kebersamaan, dan dua plastik kudapan. Kota kian megah dipagari gedung tinggi di kiri-kanan. Jalan-jalan disesaki marka beraksara Pallawa. Tiba-tiba Chea Lin tersedak, serangga melompat, riuh jadi gelap.
Esok hari, Por Hay mengetuk kamar, memelas masuk untuk menyapa dua saudara baru. Rambutnya klimis, senyumnya manis. Tangannya memeluk bingkisan; ada arloji, kacamata, sapu tangan, pisau cukur, hingga ikat pinggang. Barangkali, dialah Santa Claus yang selama ini dicari-cari.
Keluarga ini terlampau ideal. Bahkan, untuk ukuran rumah tingkat dengan banyak ruang dan kamar, Chea Lin hanya membesarkan dua anak, Por Hay dan Por Ming. Kepala keluarga ini adalah Tuan Seng, seorang teknisi otomotif, pemuja Celine Dion, dan penikmat wayang kolosal.
Tak banyak bicara, Tuan Seng menyodorkan bakul isi pisang dan alkohol ke empat anak kesiangan. Jarinya memijat telekendali, menyeleksi tayangan sesuai kehendak hati. Tak lama, rumah diselimuti doa mawas diri, Buddha hadir melengkapi hari.
Namun, bagi Chea Lin, pagi bukanlah pagi tanpa sarapan pagi. Dengan kekuatan sepuluh jari, hidangan panas telah tersaji di meja empat segi. Rasanya lezat dan enak, kecuali satu piring berisi tiga tangkai bunga warna kelabu. “Makanlah! Campurkan ke dalam sup, supaya amis daging tidak bikin sakit perut.”
* * *
Seperti nama bunga, Kamboja umpama kembang dari sejarah mahatandus. Polarisasi telah merampas jati diri, membatasi kebebasan, serta membelenggu masa depan negara ini. Dalam kegelapan rakyat berjuang bertahan hidup dan melahap apa saja yang mereka jumpai.
Andai saja surplus pangan Funan bertahan lama, suaka protektorat Prancis tak pernah ada, dan aneksasi Siam jadi karangan belaka, mungkin Polpot tak perlu diingat sebagai tersangka genosida yang mencabut nyawa tiga juta kepala.
Andai saja rezim diraja menerima bantuan paramedis barat, atau ranjau perang tak melahirkan statistik amputasi tertinggi di dunia, mungkin riel tak memerlukan dollar sebagai alasan devaluasi.
Atau, andai saja Siem Reap agresif mendatangkan devisa, dan Phnom Penh lebih cepat mempersunting China, mungkin Kamboja sudah sejajar Singapura, sehingga tak perlu melahap bunga dan tarantula.
Andai saja.
•
Musik untuk perjalanan ini:
Ngoiza — Jaro Local
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Chea Lin, Por Hay Ung, Por Ming, Shuhei Namba, Viseth Khoun, Vu Phuong Thao, Takuya Nakaizawa.
2 Comments. Leave new
Aku belum pernah ke Phnom Penh, jadi sama sekali gak ada gambaran.
Btw itu beneran yang dicampur ke dalam sup bunga? Baru tahu saya hehehe
Benar. Ada kembang warna kuning, sedikit lebih besar dari melati, dimasukkan ke sup sebagai penawar amis dan sakit perut. Semoga nanti bisa ke Kamboja ya, Hans.