Kaco lantaran wishlist terjadi trus antara sa deng Nando: di ruang tamu, di kamar, di sumur, di pos bambu, sampe di jetty orang mabok. Nando, yang pangkat sa pu keluarga hanya tra abis pikir, kanapa ada manusia sinting yang mangaku traveler, tapi coret Raja Ampat dari de pu daftar baronda di Papua Barat? Jih, sa pu suka!
Minggu lalu, sebelum kapal bokar antar sa pi Sorong, sa susun jurus deng Resqualdoz, sa spupu. Malam buta, di meja kecil, katong baku ator: Doom, Saga, kuburan, kali biru, Aimas, Tembok Berlin, Rufei, Jonson, apa saja, semua, banyak skali. Intinya, ada 14 target, Jefman nomor satu, wihara tindis limit. Sa puas, de bingung. Epen.
Siang ini, pas bale dari Sorong ke Doom, torang dua baribut lagi. Sa paksa ke Jefman, Nando tangkis tahan. “Kam diam, nanti sa teman datang dari Waisai baru sa suruh dong bawa ko pi Raja Ampat,” de rayu. “Jih, sa tra mau!” sa timpal. “Kapala batu!” Nando angkat tangan, menyerah.
De lusa, Gusti toki sa kamar, datang deng de pu lesung pipi. “Aiya, besok ada sa tamu dari Jepang, ko ikut sa jemput dong di bandara, e.” Besoknya, hari taputar sesuai Gusti pu mau; lancar, mulus. Gusti tu pemandu wisata dan tinggal di Doom. Antua rumah baku depan deng Nando, ludah pinang sa langsung sampe.
Bale dari bandara, Gusti bisi-bisi, “Tong antar dong pi ATM baru lanjut hotel, abis itu ko bantu hitung doi, e. Hari ini dong bayar 25 juta untuk private tour ke Raja Ampat besok pagi, dan ko harus ikut!” Belum sempat banapas, laki-laki de sambung, “Nanti ko jadi pemandu, tapi harus acting macam ko su pernah pi sana. Sa jadi kam pu fotografer, sanggup to?” De todong jawaban pas sa hampir juling hitung kepeng di lobi Marina Mamberamo. Tuhan Yesus, datanglah kerajaan-Mu!
Nando yang tahu skenario ini cuma bisa kasih smangat, de menang. Besok pagi, dunia macam mimpi. Speed boat lari tempo, kastinggal Sorong-Doom menuju destinasi paling mahal di Indonesia. Sa bingung, antara senang atau takut. Senang karena gratis, takut karena harus main peran. Di belakang kemudi, turis de senyum lebar skali. De tra tau kalau dong pu pemandu ada niat bunuh diri.
Tiga jam tahan hati, sa angkat bendera pas lewat air dwiwarna: biru-hijau, satu laut, tapi tra baku campur. Ajaib! Tra lama, perahu sandar di Pasir Timbul, Arborek, lanjut Mansuar. Gusti senyum lihat sa pu muka. Tiba-tiba gugusan karst pele jalur, perahu masuk di celah tebing macam gapura. Air toska, kicau burung, deng langit biru sulap turis Jepang jadi manganga. Gusti colek sa pinggang, sa masih cosplay jadi patung.
“Welcome to Raja Ampat, the pearl of Papua, your unexpected Indonesia!” Turis telan sa pu sandiwara pertama. Pas berlabuh di dermaga Piaynemo, patung jadi tiga: dua Jepang, tambah pemandu putar bale. Di atas puncak, su tarada lagi sandiwara, semua udik. Saking takjub, torang lupa oles tabir surya. Matahari tancap seribu bayangan, pulang muka hangus.
Balik dari sana, pasukan transit di Matan, pulau kecil yang de pasir macam bubuk sagu. Matan tra lebih bokar dari lapangan bola, yang jaga cuma Opa deng de cucu dua orang. Gusti deng motoris su naik tidur di bale rumbia, kastinggal sa deng turis baku haga. “Sa rasa boker!” turis singlet kuning kasih kaco suasana. Sa langsung hela dia ke semak-semak, panjat jembatan lembap, menuju bilik papan di atas rawa-rawa.
Lima menit sa tunggu, trada kehidupan. Tiba-tiba de buka pintu. “Ini sa duduk bagimana?” de bingung. “Ko taruh kaki di atas bilah bambu, awas salah injak, nanti jatuh di neraka,” sa pake Bahasa Inggris. Tra lama de keluar deng ekspresi nano-nano. “Ini tandas paling ekstrim selama sa hidup.” Yeskon.
Sampe di Doom, sa cerita semua ke Nando. “Kaka, baru ko tau, waktu di Piaynemo, turis singlet biru de suruh sa baca papan peringatan di tangga naik.” Ada 6 aturan yang tatulis, aturan terakhir tra boleh kencing takaruang. Padahal, satu menit lalu dia kencing di balik pohon, tapi langsung siram. “Nah, pas dia suruh baca butir terakhir, sa improve, sa bilang ‘oh, itu artinya dilarang bicara tipu-tipu,’ begitu.” De puas.
Nur, Nando pu mama yang dengar torang bacarita langsung todong, “Baru, pas ke sana, ko keluar uang berapa?” Sa haga dong muka baru kasih tahu pelan-pelan, “Cuma dua ribu! Itu pun bayar turis singlet kuning pu biaya toilet waktu de boker di Matan, sisanya gratis!” Nur paka testa, Nando toki meja. Sungguh mati, itu sudah!
* * *
*Cerita ini menggunakan Bahasa Melayu Papua berdasarkan hasil jajak pendapat yang dilakukan di akun Instagram Travendom pada tanggal 12 Agustus 2022. Kisah ini terjadi pada tahun 2016.
•
Musik untuk perjalanan ini:
Jikele Maweni — Miariam Makeba
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Gusti Nurlette, Hanan Mayor, Rezqualdos, Mama Nur, Ezra Ririen Paginan.