Suatu malam, Sinyo dan Nona bertolak dari Buton ke Banda. Perahunya berlayar sejak petang, mengarungi lautan berpayung bintang-bintang. Dari Banda, mereka mendayung hingga Ternate, sebuah bandar di utara. Namun, keduanya melupakan sesuatu, sebuah sisir tertinggal di Banda.
Setelah berunding, Sinyo memutuskan menunggu di Ternate, sedangkan Nona kembali ke Banda. Malam jadi pagi, sisir dicari tak kunjung kembali. Patuhi matahari, keduanya menjadi gunung api; Nona si Lewerani, Sinyo menjulang di Pulau Gapi. Kakak beradik itu mewariskan legenda, paut-memaut antara Banda dan Gamalama.
* * *
Cerita di atas adalah saduran dari penuturuan Opo, laki-laki sepuh yang tinggal di seberang Pelabuhan Banda, Pulau Neira. Dari kursi reyot di beranda, Opo merawi segalanya dengan patah-patah. Rupanya, pekerjaan membawanya datang dari Ternate ke Banda, lalu bertemu pujaan hati, menikah, dan menetap di pulau ini.
Pernikahan itu melahirkan empat orang anak yang telah dewasa dan hidup berpencar. Ada yang ke Kalimantan, menetap di Banda, bahkan pulang ke Ternate. Di Banda, Opo tinggal di rumah anak sulungnya. Istri Opo telah mangkat sejak tahun 2019 di Ternate. Keadaan itu membuat Opo terluka sepanjang hari.
Untuk mengobati lara, Opo pergi ke Karaka, pulau kecil di utara Pulau Neira. Di sana Opo membangun gubuk untuk menetap, makan, tidur, berkebun, dan menyambut setiap tamu yang datang. Itulah sebabnya orang-orang Banda mengenal Opo sebagai penjaga Pulau Karaka.
Namun, sejak tiga tahun lalu, tubuh kanannya lumpuh. Kondisi ini memaksa si sulung menjemput Opo pulang ke Neira. Vonis medis telah membelenggu kebebasannya. Bagi Opo, kamar dan pagar adalah sinonim penjara. “Anak laki-lakiku berjanji menjemputku ke Ternate. Bulan lalu aku berkemas, tetapi batang hidungnya tidak kelihatan.”
Opo bujang adalah remaja biasa yang lahir dan besar di lingkungan Toboleu, Ternate Utara. Setelah menikah, Opo dan keluarga kecilnya pulang ke Ternate dan membangun rumah sederhana di pesisir Bastiong, Ternate Selatan. Sejak kematian istrinya, Opo kembali ke Banda-Neira.
Menurut wasiat mendiang, kelak, jika ia wafat di Ternate, Opo harus menetap di Banda. Seperti Sinyo dan Nona, mereka harus saling menjaga hingga tiada. Istrinya percaya, jika pusara mereka ada di selatan dan utara, anak-anak mereka akan memiliki alasan untuk saling berjumpa.
Opo dan istrinya ibarat Banda dan Gamalama. Kendati jauh, parasnya serupa. Mereka persis legenda gunung api atau gerakan cakalele dan soya-soya; megah, tegas, dan saling mengawasi. Boleh jadi, sisir dan luka hanyalah alibi kora-kora untuk bisa berlabuh di Gapi dan Lewerani.
Banda-Neira, 18 Januari 2024.
•
Musik untuk perjalanan ini:
Jikele Maweni — Miriam Makeba
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Tete Opo, Aceng, Revalino Berry, Jeanli Elfindy, Falensya, Ryan Yoseph, Grizzly Cluive, Ihsan Baihaqi, Johanes Ngeliawawa, Rizal Ohorella, Siti Maisaroh, Amelia Lestari, Puasa, Sahidul Bahri Sabban.