Banda-Neira, nusa jauh yang menolak asing di telinga. Dari Ternate, perjalanan ditempuh lewat jalur laut dan memerlukan sekira empat hari empat malam. Namun, Banda bukan tokoh utama di cerita ini. Di atas kapal, pelayaran menentukan pemerannya sendiri.
Beberapa jam sejak titiran berputar, seorang lansia membeku di buritan. Tatapannya kosong, matanya sembab, cerutunya lembap. Siapa peduli jika perpisahan antara kakek dan cucu begitu menyakitkan. Pelayaran ini mengantarnya pulang, akhir dari sebuah perjumpaan.
Di sebuah koridor, dua pemuda bertukar pengalaman. Dari perasaan, mereka bergeser ke dosa-dosa dan urusan ranjang. Di titik kausa, salah satu mengungkap tujuan. Laki-laki itu tidak lebih dari pencari leluhur di tanah seberang.
Berbeda dengan laki-laki tadi, sepasang remaja berbagi makanan di haluan. Saban malam, mereka menanti ketibaan. Dari Bitung, dua manusia memenuhi panggilan menjadi buruh galian. Alih-alih mati sebagai pengangguran, keduanya bertolak mengubah garis tangan.
Sungguh, tidak ada yang dapat dilakukan di atas kapal ini, kecuali tidur, makan, berkenalan, dan berbincang. Seorang pria meneguk kopinya di geladak. Sepuluh tahun hidup nomaden, kini ia menemukan perhentian. Baginya, rumah dapat berupa tenda bebas hujan, sedangkan pulang hanyalah alibi bagi pecundang yang lelah berjalan.
Rasa-rasanya hidup memanglah perkara tebak-tebakan. Seperti seorang laki-laki yang pantang membalas salam. Badannya tegap, matanya tajam dan berjarak. Siapa sangka jika pria bertato yang kerap dihindari itu ternyata penyintas tunawicara. Malam hari, ketika bahtera disapu gelombang, ia berganti peran sebagai penyeduh teh dan pengawas serangga.
Naik satu tingkat di tangga geladak tiga, seorang perempuan mendermakan suara lantangnya. Kakinya mengukur luas ruangan, sebelum langkahnya mati di tengah kerumunan. Beberapa pemuda melontarkan tawa mendengar pasal kecemasan, “Ada yang melihat suamiku? Aku yakin ia sedang disekap seekor betina!” Dadanya menyala, lidahnya merdeka dari budi bahasa.
Kendati begitu, dari segala perkara, hanya satu yang memenangkan piala; kisah tentang pasutri muda yang menggemari serapah. Malam itu, orang-orang akan mengingat mereka sebagai bagian dari tragedi “sepasang ranjang di sudut barak.” Sebuah lakon antara perempuan keras kepala dan laki-laki pemarah yang memutuskan bercerai di atas kapal.
Seperti keranjang, kapal ini memuat apa saja yang dia kehendaki. Walau memiliki tujuan, dia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selama berjalan. Ada yang mencari, ada yang menemukan. Ada yang berbagi, ada yang melepaskan. Selain Nakhoda, penumpang hanya perlu tahu kapan akan berlabuh dan kembali berjalan. Sisanya cukup merayakan perjalanan, tidak lebih.
•
Musik untuk perjalanan ini:
Bin Yedi x Embai — Sound of Curly, Frans Rumbino
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Hafidz Aslan Mubarak, Shandy S. Pontoh, Irham Muhammad, Yonas Titahena, Joseph Katunggung.
2 Comments. Leave new
I want to read some more….
Inhale, exhale. I am working hard to serve you better.