Bus berhenti di pelataran terminal yang futuristik, suhu di luar lumayan dingin, cukup untuk mengundang gigil, menutup pori-pori, dan membuat kulit kering. Saya meraih jas, merapikan dasi, dan melangkah turun dari armada kontingen Indonesia.
Di depan kami tertambat satu bahtera masif milik Mitsui O.S.K Lines, perusahaan transportasi Jepang yang berbasis di Minato, Tokyo. Nippon Maru, dirakit sejak tahun 1990, menawan dengan kombinasi biru tua dan putih yang cerah. Beberapa jam ke depan, kapal ini akan membawa 330 pemuda dari sebelas negara untuk pelayaran ke Asia Tenggara.
Satu garbarata ditambatkan ke lambung kiri, berkoli-koli bagasi dinaikkan lewat jembatan ini. Seluruh penumpang berbaris memanjang, rapi dengan emblem negara sebagai penanda. Saya menjangkau ponsel, lantas mendikte layanan nirkabel yang disediakan cuma-cuma.
“You’re now connected, welcome to Harumi Passenger Ship Terminal!”
Usai pemeriksaan ketat, paspor dinyatakan valid dan resmi ditahan oleh Cabinet Office melalui Immigration Bureau of Japan. Selama berlayar nanti, seluruh identitas penumpang akan digantikan oleh kartu pengenal yang dicetak dan dikeluarkan oleh otoritas kapal ini.
* * *
Suling berlepas dibunyikan, kapal menjauh dari Tokyo, bergerak melewati Laut Cina Selatan menuju bandar niaga Sihanoukville di Kamboja. Sesuai petunjuk di buku panduan program, nama saya berada dalam manifes bilik 106, sebuah ruangan berukuran 3×3 meter, terletak di Dek 1, dan hanya beberapa langkah ke kabin isolasi di haluan.
Kamar ini diisi tiga tempat tidur, almari, meja rias, sofa, televisi, kulkas, kotak deposit, serta teko dan kompor elektrik. Setiap kamar juga dilengkapi penghangat ruangan, telepon, hingga kamar mandi canggih dengan tombol pemandu cerdas. Paripurna sekali!
Saya berbagi bilik dengan dua peserta lain. Adalah Jaita, seorang perlente asli Chiang Mai yang sedang menempuh pendidikan Notaris di Bangkok. Di ranjang sebelah, ada Kimboy, konsultan perjalanan asal Manila yang mencintai Filipina dan Jakarta.
Pelayaran ini merupakan inisiasi Tokyo, sebuah program persahabatan pemuda antarnegara ASEAN-Jepang yang dirancang untuk mendorong rasa saling pengertian di kawasan. Kendati demikian, kami percaya ini adalah upaya “Matahari Terbit” untuk mengulurkan rasa penyesalan sekaligus meminta maaf atas penjajahan yang pernah dilakukan. Selaku pelaksana, Jepang cukup teliti dalam mengambil keputusan dan membuat peraturan. Segala protokol ketat disusun untuk mengatur isu kesehatan dan kebersihan kapal serta penumpang. Tak ada kompromi untuk dua hal ini.
Jauh sebelum isu pandemi Wuhan, pelayaran ini sudah menjalankan segala pembatasan di buku pedoman; jam bangun pagi, olahraga, sarapan, mandi, rapat, hingga tidur. Kotak masker disediakan di setiap ruangan, didukung layanan paramedis 24 jam dan tungkai hand sanitizer yang menghiasi seluruh koridor. Sebelum masuk restoran, hukumnya wajib cuci tangan.
Setiap pagi, sebelas kontingen berbaris patuh, menunggu giliran penakar suhu tubuh. Penumpang yang terdeteksi di atas 37° celsius langsung dikawal ke ruang isolasi dan dibebaskan dari segala kegiatan. Di sini, flu tak lebih baik dari mimpi buruk dan himpunan kutukan.
Hari-hari di atas laut dihabiskan dengan belajar, bersenang-senang, dan menuntun surya pulang dari pangkal buritan. Ketika petang, sebuah pertunjukan budaya digelar di balai utama. Semua penumpang boleh bertukar baju adat, berdandan kasual, pergi sendiri, atau datang membawa pasangan. Jika lelah, kami boleh memilih untuk tidur lebih cepat atau pergi mencuci di palka penatu terpadu.
Tak ada internet dalam pelayaran ini. Sarana komunikasi ditukar oleh saku kecil berisi identitas peserta berdasarkan negara asal. Saku-saku itu diletakkan di sudut khusus, berseberangan dengan papan informasi yang menampilkan jadwal acara. Selain kartu nama, orang-orang bertukar gula-gula, cokelat, foto, kartu pos, hingga surat cinta yang diberi jejak pemuja rahasia. Romantis sekali!
Aktifitas ini berlangsung setiap hari selama kapal berlayar ganti-ganti tujuan. Tak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menerka-nerka jarak daratan, berdansa bersama kawan jiran, atau melahap segala makanan atas nama persahabatan.
“Ambil apa saja yang kalian kehendaki, namun tinggalkan di atas meja jika tidak selesai. Menyelundupkan makanan ke kamar adalah sebuah dosa besar tanpa penawar.” — Shiratori Masanobu, Activities Team Leader.
Kapal ini umpama kota berjalan yang mengangkut banyak manusia dengan macam-macam kasih sayang. Segala lelah terbayar lunas oleh setiap perkenalan, atau lewat rindu yang gemetar mendengar senandung lagu bangsa yang berkibar penuh bangga di daun telinga. Sungguh, tak ada yang bisa membuat mata basah kecuali melihat diri memikul panji Garuda di dada dan kepala.
Perjalanan ini masih panjang, kami menghabiskan 50 hari untuk berlayar dan memasung kenangan di setiap dermaga, kemudian memintal nama-nama penuh cinta yang kelak kami sebut keluarga. Keluarga yang merelakan air mata jatuh ke laut bersama seluruh kebersamaan yang singkat. Air mata yang kekal dalam ingatan tentang Tokyo, Sihanouk, Bangkok, Port Klang, dan Jakarta.
Saya tak mampu menyangkal segala ingatan. Ingatan tentang indahnya Fuji dari tengah lautan, tentang ganasnya gelombang, ancaman bajak laut, pemuja rahasia, atraksi bendera, atau tentang malam paling memukau saat kami berserah di geladak dan melihat rasi bintang.
Kapal ini bukan sekadar perahu besar yang gemar bergerak. Sudut-sudutnya menyimpan jejak yang menolak binasa. Ini perjalanan luhur, pelayaran yang memikul caraka dari sebelas tenggara, yang menyerahkan sukacita juga nelangsa, seperti hukum-hukum nautika yang memaksa titiran merindukan buih selama-lamanya.
8 Comments. Leave new
baca lagi tulisan ini di 2024. Terima kasih Aiya sudah merekam memori dalam tulisan ini. Akan kubacakan ini untuk anak-anakku 🙂
Sama-sama, Ayy. Semoga bisa jadi penawar rindu kita bersama, ya.
Amin paling lantang untuk doamu, anonim.
Kubaca kalimat pertama hingga kalimat terakhir, merinding. Sungguh. Diakhiri dgn blurry eyes. Semoga Mba Archi bahagia dan tenang disana aamiin.
Semoga tulisan ini bisa sampai ke surga, biar dia bisa membacanya, ya.
Danke so much, Nona. Tulisan untuk Nona juga ada, cari di "Kembara Corolonda".
Aku gak sanggup baca yang terakhir
aah, ka Aiya,,, b mo nangis saja, Dankje tulisannya, menjadi penawar rindu….