Juli yang terik pada 2007 silam, seorang remaja pergi merantau meninggalkan rumahnya. Sebuah penerbangan yang mengangkut delapan puluh orang kini membeku di tepi landasan, perjalanan mereka telah tiba di tujuan. Remaja itu melangkah turun, berjalan menuju pintu kedatangan, dikawal seorang perempuan penakut yang pura-pura tegar melepas anak sulungnya pergi jauh, lama-lama.
Sejak mengenal nama besar Ujung Pandang, kini ia datang meraih angan demi menganyam pendidikan di kota yang sarat dengan berita kekerasan. Sungguh tempat yang gersang dengan banyak sampah visual dan lalu lintas frustrasi sebagai salam selamat datang.
Mobil berhenti di persimpangan, remaja itu membuka jendela, melihat orang-orang berbicara dengan dialek asing, yang lambat laun terdengar seperti sebuah alunan. Jalanan utama tak terlalu lebar, tampak kering dan kewalahan menampung baja-baja bergerak yang melesat di bawah kendali. Beberapa bangunan terlihat rapat dan kusam, tegak menggigit bahu pedestrian yang semakin tak beraturan.
Lima tahun berlalu, remaja itu tumbuh dalam hitam-putih di kota ini. Mimpi yang disusun telah porak-poranda di tahun kedua kedatangannya. Ia meminjam pundak beberapa kawan untuk berdiri dan belajar berjalan, setelah pukulan menghantam seluruh harapan.
Tahun bergulir menuju angka-angka baru yang meninggalkan berbagai pelajaran. Luka telah pulih, sedih sudah hilang. Remaja itu bangkit pelan-pelan. Gelar pendidikan telah ia kubur dalam-dalam. Tak ada lagi yang perlu diperjuangkan, kecuali mencari uang dan makan untuk bertahan. Kota yang dulu menawarkan pendidikan kini menjadi majikan yang memberinya pekerjaan.
Karirnya merangkak, berkembang dari seorang penjaja karcis akrobat, menjadi tenaga reservasi dan orang yang menggemari dunia aviasi. Kesempatan datang, ia harus melepas segala janji di kota ini. Batavia telah mengulurkan penawaran. Satu kabinet baru dan perangkat kerja telah menunggunya di bilangan Harmoni, sebuah titik silang bagi perjumpaan masa lalu dan masa depan.
Langkahnya panjang, melewati sederet tanda tanya dan ketakutan. Namun Jakarta tak sejahat yang orang-orang pikirkan. Kota itu memberinya kekuatan dan pengalaman. Dari sana pundaknya merekah, menumbuhkan sayap hingga terbang jauh ke ‘Tanah Dewata’. Karir dan hidupnya berubah. Termasuk ingatan tentang nama-nama kota.
Bertahun-tahun hidup sebagai pengembara, kini ia berbalik untuk pulang, memilih kembali setelah lelah berjalan. Sisa usianya telah ia lelang ke sebuah kota yang mencintai seorang Sultan. Kota yang menjadi jendela pertama untuk melihat dunia, yang dengan bangga ia sebut sebagai rumah.
Pada setiap kesempatan, remaja itu selalu senang jika kembali ke Ujung Pandang. Seperti dirinya, bandar tua itu tak lagi muda dan banyak berubah. Jalanan sempit kian lebar, nyaris menelan trotoar, pagar, dan mengetuk pintu-pintu rumah. Tak ada lagi tanah gersang, tak ada lagi kekerasan. Kota nelayan telah menjelma sebagai nadi segala industri. Dermaga kayu menjadi pelabuhan raksasa dengan mesin-mesin canggih berlapis baja. Makassar bersolek sebagai praja jelita yang memiliki segalanya.
Namun, bagi remaja itu, perkembangan ini tak mengubah apapun yang ada di kepala. Ingatan-ingatan tentang rasa sakit memenuhi seluruh sudut kota ini. Ia tetap mengenang Losari sebagai tempat melarung kesedihan, atau mengingat Karebosi sebagai alun-alun yang penuh lamunan. Baginya, jika setiap kota adalah guru, maka ia telah melewati tiga pelajaran. Makassar mengajarkan berjalan, Jakarta melatihnya bertahan, dan Denpasar membantunya berkembang.
Kunjungan di tahun-tahun mendatang hanyalah upaya merawat segala perjuangan. Makassar akan tetap keras seperti buras dan konro, namun hangat seperti coto dan manis seperti barongko. Kota ini sempurna atas berbagai luka dan penawar. Sakit dan kekalahan ternyata ditukar oleh urusan cinta dan pekerjaan.
Dari banyaknya monumen air mata, Makassar diam-diam merawat satu tugu istimewa di bilangan yang tak memiliki suara. Di prasastinya terpahat satu nama paling kekal yang melekat di dalam dada. Nama yang mengubah mendung agar tak melulu kelabu, serta menitipkan hati-hati lewat genggaman yang terlepas di pintu keberangkatan bandara.
Remaja itu berjanji, sampai mati ia akan mencintai kota ini. Kota nelayan bertuah yang kerap ia kenang sebagai bandar para pelaut.
Musik untuk tulisan ini:
Ininnawa Sabbara’e — Nur Alfarisi, Rusi
Play on Youtube Music
•
Terima kasih:
Hakata Tours, Vilda Alwan, Fréia Ramal, Ezra R. Paginan, Erni Setitit, Fera Tenri Nyompa, Lusiani Hartono, Agus Afdal, Ardika Fawzi, Louie Buana, Maharani Budi, Megawati Palayukan, Anas Assidiq, Wienk Moenawier.
1 Comment. Leave new
Siap nyonya, siap!