Prolog
Berawal dari film besutan Andy Cadiff, lahirlah perjalanan gila yang nyaris menduplikasi isi cerita. Chasing Liberty, sebuah film yang mengisahkan kaburnya Anna Foster, anak presiden yang hidup berkecukupan, namun memberontak dan pergi mencari kebebasan saat lawatan kenegaraan di Eropa.
Dengan segala kuasa, James Foster mengutus Ben Calder, seorang agen rahasia yang ditugaskan melindungi anaknya. Namun, romantika gondola dan pesona Italia telah melecehkan hatinya, sehingga berbalik menjadi teman pelarian remaja pengelana. Pengkhianatan ini tiba di telinga Istana. Presiden semakin murka, lalu mengubah rencana dan mengirim banyak mata-mata untuk mengejar mereka.
Pelarian itu menampilkan keindahan Praha, Berlin, London, hingga Venesia. Saya tergugah, lalu pergi ke Surabaya. Apa hubungannya? Baca saja!
Chasing Librtà
Selasa petang pada Maret 2010 silam, KM. Umsini berangkat dari pelabuhan Ujung Pandang menuju Tanjung Perak di Kota Pahlawan. Berbekal tiket Kelas I, saya mendatangi sebuah kabin yang sudah diisi satu lelaki paruh baya. Namanya Tahir, berbadan sintal, ramah, dan hendak ke Malang menjenguk anaknya.
Kamar ini dilengkapi dua tempat tidur, tv, almari, kamar mandi, dan jatah makan tiga kali sehari. Kami memasung kaku di topik pasal isu pangan, keluarga, hingga sejarah bangsa-bangsa. Satu jam kemudian sebuah pemberitahuan disampaikan lewat seluruh pelantang, makan malam telah disiapkan.
“Pergilah makan, Nak! Saya masih kenyang.”
Satu panggilan telepon gagal tersambung ketika kapal menjauh dari kota yang berlimpah jaringan. Saya bergegas mandi, ganti pakaian, lalu berjalan menuju restoran. Ruangan itu cukup luas, penuh dengan sepasang kursi di tiap meja bertaplak putih.
Dari sekian banyak tempat, mata tertuju di satu meja kecil yang memiliki jendela. Kapten dan kru berdatangan, para pelayan sibuk membawa hidangan. Di luar sana, pulau-pulau mungil berkilau dalam pekat, menambah kesan hangat yang disesaki musik melankolis barat.
Lilin menyala malu-malu, menerangi separuh meja yang dijaga semangkuk bubur jagung dan segelas jeruk hangat. Tiba-tiba lamunan jatuh, lumpuh bersama tatapan ke seseorang yang izin menjadi lawan di meja makan.
“Can I join with you?”
“Sure!”
Namanya Mark, pelancong asal Lisboa, berdarah Italia, mata kelam baja, rambut cokelat, rahang tegas, hendak menuju Jakarta, dan baru pertama ke Indonesia. Namun, Mark bukanlah orang asing. Dialah yang duduk di samping saya saat di Terminal Pelabuhan Makassar, dan tanpa sengaja berjalan persis di sebelah kiri ketika kami menaiki tangga.
Selain basa-basi, kami tak membahas apa-apa sampai perjamuan selesai. Saya pamit berdiri, meninggalkan Mark yang sibuk melahap puding stroberi.
Hari semakin gelap, cuaca kian tak bersahabat. Pukul sebelas malam, saya berlari dari haluan ke geladak enam. Petir menjalar umpama akar, badai memanggil gelombang yang kesetanan. Orang-orang ketakutan, gugup mengingat nama Tuhan.
Namun, malam telah hilang oleh sebutir pil anti mabuk yang saya telan dengan cepat. Tahir menyeduh dua gelas teh dan membangunkan saya yang masih terlelap. “Bangun, hari sudah cerah. Ini dapat mengganjal perutmu sambil menunggu sarapan,” ajaknya.
Dari pulau-pulau gelap, jendela yang sama kini menampilkan langit dan laut yang bergairah. Meja kecil tak lagi menopang jagung. Punggungnya menyanggah sepiring roti, selai kacang, dan susu cokelat yang lezat. Tak ada lagi Mark yang datang tiba-tiba. Dia hilang entah ke mana.
Saya kembali ke kamar, mengambil buku, dan menuju anjungan di geladak tujuh. Ponsel berdesis, mengetuk layar dengan satu pesan dari Bapak yang menanyakan kabar. Kita telah mendekati daratan. Satu jam lagi kapal berlabuh di tujuan.
Kami bersandar pukul dua siang, tepat tiga jam sebelum jadwal kereta datang. Perjalanan ini masih panjang. Saya menyewa taksi, mengantar Tahir, kemudian meminta sopir membunuh waktu dengan mengintari kota ini.
Dari pelabuhan kami menuju kawasan niaga, melewati gang pecinan, pusat kota, hingga tempat-tempat yang menjadi saksi sejarah. Surabaya tak lebih dari sebuah bandar tua yang sibuk mengoleksi nama-nama pahlawan dan gedung-gedung anyar yang besar. Penjelajahan ini harus berhenti di titik bernama Gubeng.
Menjelang petang, kereta memasuki stasiun dari jalur selatan. Saya segera naik, menuju tempat yang tertera di tiket. Sebuah kursi dengan satu bantal kecil telah menunggu di dekat jendela. Saya membuka ransel, mengambil kudapan, pemutar musik, serta buku untuk bekal belasan jam mendatang. Pintu bordes terbuka, riuh penumpang berebut mencari tempat duduk. Di balik antrean, seseorang membawa kejutan.
“Hi, nice to meet you again!”
Mark tersenyum, mendekat pelan-pelan, lalu duduk di samping kanan. Siapa menyangka jika di kereta ini kami membeli tiket berdampingan, dan saling berdekatan hingga akhir perjalanan.
“What kind of book that you read?”
“This is a ‘Gate of Esfahan; a travel story about Iran’.”
“That’s cool! But sit next to each other on this train is cooler.”
“Thanks, but I might not accompany you until the end of this trip. I should ‘unplugged the seat belt’ when we arrive in Cirebon.”
“No worries. At least, I don’t need to introduce myself again to new person. Haha…”
Kereta bergerak membawa jantung yang berdegup kencang. Kami melaju menjemput malam, membelah pemukiman, sawah, dan melintasi kota-kota besar yang menjadi urat nadi Pulau Jawa.
Ketika berlepas dari Stasiun Solo Balapan, sebuah benturan menghentikan rangkaian dengan keras. Tak ada lagi suara mesin, orang-orang memuja hening, meraih napas dalam gelap dan lampu-lampu yang padam. Gerbong pembangkit mengalami gangguan. Namun, Mark tak mengingat apa-apa. Tidurnya pulas dengan leher yang terjebak di pembatas kursi sebagai sekat privasi.
Dua jam setelah perjalanan dilanjutkan, kabin berubah menjadi Kutub Utara. Gemerlap Semarang seolah menghina kami yang meringkuk kedinginan. Mark terjaga lima menit kemudian. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil. Beberapa menit berselang, dia bangkit dari kursi, berjalan pergi, dan kembali dengan dua gelas kopi yang dibeli di gerbong restorasi.
“Cheers for this unbelieveable journey!” Kami bersulang.
Ia meraih ransel, mengambil sebuah poket yang menyimpan kamera dan kartu nama. Tangan kirinya merangkul tiba-tiba, sambil menuntut senyum untuk foto bersama di hitungan ketiga.
Subuh datang ketika kereta berhenti di Stasiun Kejaksan, saya sudah sampai di tujuan. Mark membantu mengambil barang di laci penyimpanan, menyerahkan kartu nama, memberi salam perpisahan, lalu mengejar saya di pintu kereta.
“Hey, it’s yours!” Sepasang adaptor tertinggal di bibir colokan.
Saya bergegas turun, meninggalkan Mark di balik jendela. Perpisahan ini tak boleh lama, sebab kakak telah menunggu di pintu kedatangan sejak pagi buta. Kaki melompati tangga, lalu berpindah ke peron sebelah. Telinga kanan menjawab telepon, tangan kiri merogoh saku celana, meraih secarik kartu nama.
“Mark Madden, 24 tahun, seorang Jurnalis, berkantor di Berlin.”
Epilog
Saya tak percaya jika sebuah film bisa mengubah pecundang menjadi pemberani. Inilah perjalanan pertama sebagai pengelana. Segala kejadian, pertemuan, dan himpunan kebetulan hanyalah bumbu dari perjalanan selama tiga hari. Mark, Italia, perjamuan, kereta, jurnalis, Berlin, dan kota-kota yang kami lalui ibarat duplikasi dari film itu sendiri. Terlalu banyak persamaan di kisah kali ini.
Meminjam nama “libertà” dari negeri pembuat pizza, saya juga harus merasa bebas untuk membuka sebuah peti rahasia. Peti yang merawat kesal selama bertahun-tahun, yang juga merangkap sebagai guru untuk berlatih mengendalikan diri.
Pengalaman ini akan kekal di kepala, sebab seluruh dokumentasi kamera telah mati di satu telunjuk yang masih berusia tiga tahun.
“Erase all?”
“Yes!”
Musik untuk perjalanan ini:
40 Oz. Symphony — Young Mozart
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Mark Madden, Tahir Asrullah, (almh.) Astri Sjaban, Teguh Daspati, Sutikno Ismail.