Membaca Nusantara berarti mengeja Kalimantan sebagai paru-paru dunia. Perutnya dilintasi Khatulistiwa, sebuah garis khayal yang berputar mengelilingi bentala. Bumi tak bisa apa-apa tanpa Indonesia, itulah umpama yang digemakan segala cara. Orang-orang mengingat buana sebagai satu-satunya kehidupan di luar surga dan neraka. Saat hutan Kalimantan dibabat, paru-paru semesta akan mati, lalu datang kiamat. Awam percaya semudah itu Tuhan menghukum manusia.
Hari bergulir mengungkap tabir, menghapus keliru. Di kordinat lain Tuhan memahat Papua dan Sumatra yang hutannya menimbun oksigen. Kelak, jika Kalimantan dipangku pendosa, dunia tak lantas menuai sirna. Namun, doktrin tetaplah doktrin. Kepala terlanjur mengingat seluruh paragraf di buku-buku penipu. Ingatan lantas menulis janji untuk datang ke tanah itu. Entah bagaimana paras Borneo, raga hanya ingin menyapa rimba raya nyata-nyata, lama-lama.
Januari 2013, satu maskapai jiran menggelar undian tiket tengah malam, saya menukar cemas sebagai pemenang ke Balikpapan. Seperti mimpi, inilah nazar yang dibayar tunai ke tanah bekantan. Baja berkait di langit-langit, dindingnya disanggah kaca-kaca berkilap. Sepinggan bersolek, sayapnya mekar dan bertambah tinggi. Ia memantaskan diri menyambut pelancong dari seluruh negeri.
Kota ini berbeda. Jalannya bersih dan asri, walau tak begitu lebar. Lalu lintasnya patuh, langitnya biru, pesisirnya teduh. Umpama bandar di negeri maju, Balikpapan adalah tuas peradaban. Pesona kota beruang tersangkut di lima jemari ramah yang menggapai di ujung jalan. Dialah Ikma, penduduk lokal yang baru dikenal sepuluh jam sebelum datang. Ia mengirim undangan ketika permohonan tumpangan saya layangkan ke milis komunitas pejalan.
“Rumahku berada di pusat kota dengan satu kamar tamu dan ranjang yang nyaman. Ibuku gemar memasak, tinggallah dengan kami.” Sebuah balasan menjadi pangkal perkenalan.
Setapak kecil menuntun kami ke tanjakan sempit. Rumahnya terletak di ujung bukit, tak jauh dari lajur Jenderal Sudirman. Perempuan tua melapangkan lengan, meninggalkan sepasang seragam di mesin sulam. “Masuk, Nak! Makanlah dulu, Ibu masak nasi goreng hari ini.” Saya membeku, menimbang malu dan terharu.
Ikma meraih ransel, membawanya ke bilik di ujung ruangan, “Nanti tidur di sini, ya.” Tak ada durasi panjang di adegan perjamuan. Kami menyambung kisah ke butir perjanjian, pergi berburu songket di Pasar Sayur yang tak menjajakan sayuran.
Bemo bergerak mengangkut dua penumpang menuju kawasan pecinan. Dituntun himpunan segala cerita, Selasa tandas dalam segelas sirup dan tiga bobongko yang lezat. Perbincangan berlanjut ke bibir Kemala, melecehkan buih, memuja bayangan dari kelapa yang rindang. Tak tuntas dengan laut, Ikma memandu bersila di pesisir kota. Matanya hampa membidik surya, mengungkap duka lewat segala bahasa. Tangannya gemetar, lidahnya kelu. Seluruh beban telah jatuh ke telinga samudra, hanyut menuju rombongan tongkang yang mendekati bahu Semayang.
Rabu tiba lewat secangkir susu panas dan beberapa kudapan. Jendela berkabut, menangkis tempias dari gerimis dan daun-daun yang terbang. Ibu menyingkap kelambu, menunaikan pesan untuk meminta dibangunkan. “Sarapanlah dulu sebelum pergi. Ikma sudah pamit ke rumah saudara, mengejar waktu sebelum pemakaman berlalu,” jelasnya.
Pakaian telah dikemas, saya menitip catatan di atas meja. Ibu mengikat peluk di halaman, suaranya mengawal pesan perpisahan, “Kalau ke Balikpapan lagi, mampirlah ke sini!” Langkah menjauh, meninggalkan perempuan yang merawat sakitnya di telapak kaki. Tak ada kesedihan di perpisahan ini, seluruh bangga telah menetap di surat rahasia.
Kaki berbelok ke selatan, menyusuri jalanan sepi di tengah kilang-kilang Mathilda. Di ujung lintasan, lengan menghadang satu angkutan, memelas jasa untuk tujuan ke penangkaran hewan. Sopir mengusap keringat, melumat cerutu, memandu kemudi. Di belakang, tiga penumpang membahas makanan. “Jika kepiting punah, kita tinggal makan kerang,” ucap lelaki sepuh yang disambut tepuk tangan.
Sebuah panggung Lamin menjulang gagah dari seberang, pagarnya rendah menyambut mata pendatang. Inilah identitas Dayak yang merangkap simbol rumah adat. Bonsai-bonsai memenuhi halaman, menggenapi empat gajah yang kegirangan. “Ini hanyalah penangkaran kecil,” seorang penjaga membuka cerita, mengupas hikayat segala percaya.
“Dayak sangat menghormati alam. Ketika kami berdosa, alam mengirimkan tanda bahaya. Kami percaya Tuhan menciptakan alam sebelum manusia.” Saya memerlukan ibu jari ketiga untuk membeli kata sepakat. Ponsel bergetar, menghantar Ikma dan sebuah kabar. “Ibu menangis baca suratmu. Sungguh, kami ikhlas melayanimu sebagai tamu. Uang ini akan kupakai untuk beli obat sakit pinggang. Hati-hati di jalan.”
Pukul lima sore pesawat berlepas ke Ujung Pandang. Saya mengangkat baki jendela, memaku kagum tanpa suara. Kota ini seperti paradoks, menjelma hiperbola jika mengurainya lewat kata. Di padatnya gedung-gedung jangkung yang berdenyut, menjulang nama-nama yang tak kalah tingginya. Ikma, Ibu, lelaki sepuh, atau penjaga Rumah Lamin adalah beberapa di antaranya.
Barangkali benar apa yang dikatakan Paman Penjaga, bahwa paru-paru juga memerlukan nyawa untuk menjadikannya berharga. Nyawa itu adalah tangan-tangan manusia. Jika alam rusak, satwa memberi tanda kepada para tetua. Orang-orang menyebutnya ‘dahiang baya’, sebuah aba-aba sebelum tiba malapetaka.
Persetan dengan doktrin organ dunia. Sejak hari itu Kalimantan menjadi pompa yang mengalirkan bangga ke seluruh dada. Bangga yang membebaskan saya dari muram durja saat melawan penyakit paru-paru akibat tindakan paling berdosa: menjadi budak dunia.
Musik untuk perjalanan ini:
Good Vibes — Uyau Moris
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Endang Hikmah, Barnabas Gitara, Sukri Lasinda, Wien Moenawir.
•
Tulisan ini didukung oleh gambar luar biasa karya Maulana Rizky