Namanya Batavia, tanah para pujangga. Di tanduk Hindia, dialah mandala pemilik gema. Parasnya berganti rupa, bertunas Sunda Kelapa, Jayakarta, sebelum kekal sebagai Jakarta. Bagi pribumi, Batavia adalah senandung kemajuan, kemakmuran, dan masa depan.
Sayalah satu dari pribumi itu. Ketika kawan merapal cita, raga mengeja dia sebagai mimpi paling segala. “Apapun yang terjadi, kaki harus tiba di sana.” Tanpa ragu, tanpa malu. Tahun berlalu, doa pulang mengetuk telinga. “Selamat, Anda diterima bekerja di Jakarta!”
∗ ∗ ∗
Soekarno-Hatta terlampau masif, pilarnya bertaut di langit-langit. Koridornya panjang, dikawal seni kualitas tinggi. Di ujung jalan, rombongan manusia berbaris melingkar, menunggu barang yang dipikul sabuk penghantar. Orang-orang itu wangi sekali, kulitnya dibungkus katun terbaik, ditopang kasut antah-berantah.
Kedatangan ini terlalu berani. Tanpa kenalan, tanpa pikir panjang. Di ujung telunjuk, gawai menuntut satu nama yang pantas dihubungi, David. Tak lama, intonasi tinggi berkibar di saluran panggilan. “Lo gila, ya? Gue tinggal di asrama, gak mungkin bawa teman, tapi gak mungkin juga lo tidur di jalan. Sini!” Sepandai-pandai dia mengumpat, tetap jatuh juga.
Sedan biru membedah malam menuju Mampang Prapatan. Kota ini begitu luas, jalannya bertingkat, gedungnya lebat. Di sebuah tikungan, lelaki renta tertunduk lemas, matanya menuntun tumit yang buru-buru. Saya menarik napas, melempar iba dari jendela. Oh, Jakarta!
Dari tandas sesak yang menjulang tanpa atap, langit mengoles semangat lewat terik pemanggang cemas. Kepala mematung, menghitung busa dan tujuh tempias. Kakus ini dipagari susunan bata telanjang, tanpa warna, sederhana, sempit sekali. “Jangan buang waktu, lekaslah sebelum terlambat!” David memekik.
Siang bersalut panas, memandu langkah yang dijahit dengan awas. Kemeja putih dan sedikit parfum menyamarkan dada yang gemetar. “Tempatmu di kubikal kanan, persis di kaki lensa pengintai. Kerjalah dengan tenang.” Lelaki tambun melepas genggam, mengunci hari dengan kejam.
Waktu menukar-gulir pekan ke pekan. Satu tahun tidaklah cepat. Perantau mapan tak lagi kesepian. Usianya dipenuhi janji dan kartu nama setiap hari. Baginya, kantor bukan lagi berhala. Namun, jiwanya penuh dilema. Sebuah pesan jatuh di pelupuk mata, malam-malam.
“Proposalmu menarik, Kepala Supervisi di Denpasar siap bertemu pekan depan. Sampai jumpa di restoran cepat saji pukul dua siang.”
Tiga hari setelahnya, perantau bimbang terkulai lemas. Tubuhnya ditikam selang pendonor nyawa. Bilik itu laksana penjara. Larutan kimia telah melumpuhkan rencana. Ia kalah, tumbang tanpa kuasa. Dua hari kemudian, takdir meminjam lidah Ibunya. “Besok kita ke Makassar, seorang dokter telah menjual nama besarnya di pusat kota. Kau pasti cocok, percayalah!”
Tak ada lagi yang perlu dipertimbangkan. Mimpinya selesai, karirnya usai. Remaja tangguh memilih patuh atas saran segala ahli. Kejadian itu menariknya kembali ke masa lalu; ke rumah kedua, ke titik rantau pertama, Makassar.
Kini, tak ada lagi David yang serba bisa, Bram dan seribu cerita, atau Witha yang menemani ke konser musik selepas kerja. Tak ada lagi polusi Kopaja, kereta pesing, atau pilar Istiqlal yang menopang kubah dan seluruh resah. Tuntas sudah episode tetangga, tentang pria pengedar narkoba, atau tentang diskotik di seberang jalan yang menjadi kuil tunasusila.
Bagaimanapun, Jakarta tetaplah Jakarta, bandar tua yang menjadi gula remaja desa. Kota yang mengajarkan mimpi tak harus serupa, lantas menyerahkan segala yang diperlukan dunia. Tentu saja, Jakarta tetaplah Jakarta, mimpi yang memilih pulang setelah kandas membeli tujuan, sekaligus menjadi kata pertama dari seorang siswa kelas lima yang tak memerlukan apa-apa, cita-cita, dan mula-mula.
•
Musik untuk perjalanan ini:
Petite fleur — Jill Barber
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Maemar Chadavid, Bram Anthony, Rezwitha Masuku, Nurlaila Yuslan, Anggie Bonita, Ester Berliana, Anna Annisa, Razi Arrazi.
2 Comments. Leave new
Danke nyong untuk setiap kebersamaan smpai dengan hari ini .. semoga kita dapat bertemu kembali dalam keadaan baik-baik saja
Nyong e, danke banya lai. Beta seng pernah lupa ale deng Mama pung bae. Jaga diri bae-bae, nyong.