Petang lembab di punggung Andalas, si bandar lama yang dipisah bengawan raya. Kedatangan ini adalah tetiba. Umpama tirta, rencana itu membasahi kepala, memutihkan daksa, melumat tubuh Sriwijaya.
Bak musafir, kembara loka bergulir bebas, tanpa kawan, tanpa kenalan. Raganya patuh dikungkung baja. Pelan, gelap, terbata-bata melepas Batavia, menuju Ketapang di pelipis Java.
Salam dipapah muazin muda, lantangnya memenuhi udara, menyumbat usia penyembah niskala. Laluan pawana memanggil hening, menghapus keringat, mematikan pesing.
Gusar menarik pesawat genggam, memelas suaka di ujung suara. Seseorang menjamu ramah dari seberang, menawarkan kawalan bakti punggawa. “Pukul sembilan kita bersua,” janjinya.
Musafir lekas mengunci telinga, mengikat ikrar serta percaya. Jemarinya lisan bertuankan aksara. Pertemuan itu dibina di sungai tua, dijaga tiang kapuranta dan gelar seluruh raja.
Biduk berlalu, memuat jiwa yang malu-malu. Cakra kota melacurkan malam, mengaduk terang di kaki bulan. Detik bergerak ke utara, memangkas masa, menghapus tutur kata. Perjumpaan itu mengingkari selesai.
“Larutlah dalam pejam, sayang!”
Musafir meringkuk menanggalkan kasut. Senyumnya jatuh dalam selimut. Matanya basah, pipinya merah. Kalimat itu melantik kagum berganda. Laksana seroja, hatinya mekar warna kapisa.
“Aku seperti dewa naratama!” Desahnya.
Perjalanannya menjelma tajuk padat romansa. Menuturkan pecundang yang buta haluan. Peluknya pecah, janjinya patah. Sepasang telaga terpaut kekal di sumpah karantala.
Lewat doa segala kastawa, musafir muda memenggal cahaya. Bibirnya lincah menimbang pahala, memilah-milah sebelas dosa.
Kisah ini tanpa lencana. Namun, jika harus memberinya nama, panggil saja Kalpasastra.
2 Comments. Leave new
Good job. I love the way u arrange and choose the words, very beautiful
2 thumbs up dude
Terima kasih, Joe. Sering-sering bertamu ke sini, ya.