Di ketinggian yang sukar dan tenda-tenda yang memancarkan sinar, penduduk kota menyerahkan hidupnya. Pohon-pohon beradu tegak, merangkul hitam, merayakan malam. Di sintal gitar yang sesak senar, seseorang mengatur gema, mengawal nada dari perempuan yang diselimuti suara.
Api melumat badar yang kikir cahaya. Bibir-bibir mengunci bahasa, menukar takjub di sepasang mata. “Pesta segera dimulai, mari bersorak bersama-sama!” Pramuacara menaksir waktu, melelang janji berkedok irama. Tumit-tumit mendekat, memangkas jarak, melucuti gerak.
Ini bukan hutan, bukan pula si rimba kelam. Inilah langkan wangsa pedalaman, puak yang hidupnya dipeluk alam, dirayakan petang, dikawal patuh segala binatang. “Kendati mendung, jika kubilang tidak hujan, tidak akan hujan!” perempuan tua mengikat sumpah dengan lidahnya.
Di pipih segara, kunang-kunang menyulam terang, menambal remang yang menyembah kegelapan. Riak kian bias, mengalir bebas ke hilir lepas. Tuan-Puan tertawa, melecehkan cemas pada jenaka. Oh, orang-orang berpesta pora, menginjak-injak punggung bentala.
Peluh kian deras, api kian panas. Rimba tak perlu piala agar didaulat istimewa. Gembira telah jatuh, pesta patah di babak usai. Tuan-Puan menutup halaman, menarik diri dari paragraf perpisahan. Tak ada lagi alenia baru, kecuali daun-daun yang kebingungan.
“Bagaimana dengan hujan?”
“Siapa yang kesepian?”
Entahlah, barangkali kesedihan telah memenggal dirinya sendiri. Tak ada yang mati penasaran, kecuali satu jemala yang sibuk menerka tajuk sepanjang malam. “Halera!”, lamunannya lunas. Akronim jelita telah menetas di tengah hutan, diam-diam.
(Hal)mah(era).
•
Musik untuk perjalanan ini:
El Choclo — Amerimambo
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Balai Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, Fadrié Sjueeb, Yofangga Rayson, Gisellha Fatimah, Mutmainnah Daeng Barang, Mahdi Daeng Barang.
•
Kisah ini berlatar pesta musik di tengah hutan, rumah bagi O’Hongana Manyawa di Halmahera. Cerita ini dituturkan dengan narasi metafora sebagai persembahan kepada seluruh suku pedalaman yang masih bertahan di Indonesia. Perjalanan ini juga direfleksikan lewat lukisan karya Fadrié, perupa ternama Maluku Utara.
•
Halera juga memiliki intonasi, dengar di sini.
4 Comments. Leave new
Terbaik…
Terima kasih, Abang.
Sumpah, ini benar-benar keren!!
Syukur dofu, Abang.