Kamis subuh di jantung Kejaksan, Ranggajati melintang panjang, menunggu semboyan dibunyikan. Baja bertaut di cincin langsir, mengikat kereta, menyatukan tujuan. Di pintu keberangkatan, remaja tangkas mengayun jenjang, memasuki terowongan, mendaki tangga yang dianggapnya bajingan. Kakinya laju, matanya mengeja lembar sakti penumpang; Eksekutif 1, 9A, Cirebon-Jember, 14 November, tiga tahun silam.
Pukul lima lokomotif bergerak, kereta bertolak. Orang-orang memejam kelopak, menjahit mimpi yang urung tamat. Kondektur menembus sekat, dikawal awak bersenjata lengkap. Kabin diredupkan, menghormati pagi penawar gelap. Di luar jendela, kota seperti pola sulam; ramai, rapat, samar-samar.
Sepur kian cepat, meninggalkan peron, janji-janji, dan hulu gerak. Di meja restorasi, sepasang manusia bertukar umpama; umpama menua bersama, atau merelakan salah satunya. Remaja lekas menarik diri, kembali ke kursi setelah melahap nasi-teri. Namun, dia tak lagi sendiri, perempuan tua telah mengisi sisi kiri. “Hapunten kaki urang, Dek,” pintanya.
Tiga jam kemudian, perempuan sopan pamit pergi, posisinya ditukar pria tegap berlencana polisi. Tak ada obrolan di kesempatan ini, kecuali kuping yang diam-diam merekam percakapan pribadi. “Beritahu dia, aku datang menjemput putriku!” Panggilan dipadamkan, tegang, tenang. Punggung laki-laki itu menjauh di selasar Solobalapan.
Tak lama, duduklah pemuda klimis dengan bulu kumis tipis. Remaja letih mengulurkan tangan, menyambut jabat usai melipat baki pijakan. “Saya Dewa, tujuan Surabaya,” katanya. Empat jam berjalan, dua pemuda larut dalam tajuk kemanusiaan, kesehatan, hingga perkara lensa rakitan.
Dari bandar pahlawan, kabin bergerak lenggang. Remaja letih kehilangan kawan, tak ada lagi penumpang kiri. Alih-alih tidur, lehernya meraih sandaran, menuruti mata yang melamun kesepian. Ingatannya mundur sembilan jam ke belakang; tentang lintasan gersang, hutan-hutan, terik-panggang, atau hujan yang menggenangi perkebunan.
Jika pejalan identik dengan pergi dan datang, remaja itu mendaulat diri sebagai pakar penasaran. Kepalanya sibuk menerka tujuan setiap penumpang; perihal ke mana mereka pergi, di mana mereka pulang, atau tentang siapa yang menjemput mereka dengan pelukan.
Delapan petang, ia pamit dari lamunan, sepur panjang telah tiba di tujuan. Kereta itu melintasi 29 kota, 4 provinsi, melesat selama 15 jam, meninggalkan gelap, menemui pekat, dan memuat apa saja yang ia kehendaki.
Kecuali jawaban.
•
Musik untuk perjalanan ini:
Divano — ERA
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Imandari Sasmita, Gabriel Simanjuntak, Novi Pujasastrawi.