Bagi musafir, kelahiran adalah perkara perasaan. Rasa yang terhimpun ketika melakukan perjalanan; tentang perjumpaan, perpisahan, kota, hutan, perbatasan, gerbang-gerbang, persimpangan, meja makan, pergi-pulang, atau tentang hilang dan saling menemukan. Musafir percaya, usia baru sepatutnya dirayakan di tengah jalan, panjang-panjang!
* * *
Tiga belas tahun silam, pada Januari 2009, seorang remaja menggantung lamunan di jendela sedan. Matanya menyapu ilalang, menuruti laju, menuntut tiba di pusat perkotaan. Ini pulang perdana ke Ujung Pandang, ke bandar pertama yang menjelma titik melanjutkan pendidikan.
Kedatangan itu kombinasi rindu dan perayaan. Rindu kabar lama, dan tentang satu nama yang urung dipadamkan. Kepulangan itu untuk merayakan dendam dalam sebuah peringatan. Peringatan tukar usia di dermaga tua yang merawat kepedihan. Namun, Makassar bukan lagi racun mematikan, lisannya telah berlatih memaafkan.
2010, dari kubikal sempit di Jakarta Pusat, remaja pemaaf melipat berkas, meninggalkan pesan untuk tindakan rujukan. “Aku cuti ke Cirebon, hubungi nomor cadangan jika mendesak.” Kereta malam menjemputnya cepat, melesat ke kiblat saban Ahad. Esok pagi, Cirebon melucutinya dari beban pekerjaan. Di pendopo kerajaan, dia datang sebagai pemenang.
Setahun berlalu, remaja pemaaf tumbuh dewasa, pelariannya bukan lagi di Indonesia. Bersama kawan, ia melancong ke Singapura. Celaka! Kawan malang kini terjebak siasat petaka, alibi tukar usia yang disusupi senarai asmara. Perjalanan itu padat gempita, tanpa meminjam tanda bahaya. Di petang terakhir, gerimis memisahkan mereka. Remaja jahat bergegas menjauh, mendekati kordinat nakhoda perkara.
Sebuah kedai menyajikan selasar. Seseorang meneguk sabar, rindunya larut dalam debar. Dialah dalang seluruh rencana, yang dua hari lalu mengambil jeda, menganulir kerja, meninggalkan Beirut, menuju Singapura untuk berjumpa remaja pendosa. “Eid milad saeed, Sayang!” Kecupnya sopan. Sore itu, dunia tak lagi mengenal pahala. Keduanya memanjat palang neraka.
Tarikh bergulir ke 2012. Remaja kasmaran menguras khayal, menaksir alasan kepada empat kawan yang memaksanya plesiran. Gagal. Perdebatan sengit mendaulat Jogja sebagai tujuan. Lekas, enam pelancong memunggungi Jakarta, menuju bandaraya yang istimewa. Persetan dengan anggaran, perjalanan itu pantang dibatalkan.
Datang-datang, jarinya tangkas merangkai pesan, mengatur janji dengan seseorang yang disebutnya penantian. Menjelang malam, hatinya belingsatan. Sebaris nama menjajah separuh ingatan. Nama yang sewindu silam mengeja cinta, menghapus nestapa, yang dua jam lalu bertemu muka dan melunasi hidangan sambut usia. Lantaran itu, Jogja kekal sebagai sinonim pelipur lara.
Waktu berjalan, remaja sehat terkulai lemas. Sepasang dokter menarik batas di helai kertas. Rencananya tuntas ditebas vonis sesak napas. Tak ada pilihan di Januari 2013, kecuali pulih dengan lekas. Sebulan berselang, tiket ke Vietnam dipaksa berbelok ke Balikpapan. Ia percaya, Kalimantan adalah pintu kesembuhan. Di penangkaran hewan, remaja lancang merapal tuntutan. “Pelihara paru-paruku seperti hutan Kalimantan, Tuhan.” Doanya kontan.
Penyintas lancang kembali ke jalan. 2014 malam, ia memijak jantung Mataram. Kini, tak ada doa yang memaksa dikabulkan. Kakinya ringan mengukur tari kebebasan. Perjalanan itu ia kenang sebagai Sabtu tanpa beban, simpang Selaparang, Gili Trawangan, pedagang kesepian, dan sepotong dada ayam taliwang. Mataram mengejutkannya dengan jabat tangan dan makan-makan.
Januari 2015, tahun di mana raga memutuskan pulang ke Denpasar, ke Tanah Dewa, ke nusa yang mewariskannya perangai dewasa. Malam itu, tak ada perjalanan yang dilakukan. Di pesisir kota, dirinya melipat lengan, mendamba segala harapan. Bibirnya rapat, tubuhnya tegap, matanya merangkul gemerlap lekat-lekat. Bali memberkatinya sehat-sehat, kuat-kuat.
Lain Dewata, lain Jakarta. Seperti biasa, warsa tiba membawa angka dwi-sapta. Dulu, enam tahun lalu, Batavia hanyalah bandar singgah dalam hidupnya. Malam itu, pascapanen kenangan lama, ia memilih hilang di sesaknya Kota Tua, di hilir mudik sepeda, kudapan sudra, ratusan kepala, remaja, lansia, balita, sebelum menyembah gema biola yang mengiris nada klasik Eropa. Seperti Belanda, ia menjarah magisnya Sunda Kelapa.
Tahun setelahnya memiliki skenario berbeda. 2018, di ranjang kaku sebuah ruangan, Tuhan datang membawa kesempatan. Nyawa ketiga menembus kulit, menumpangi selang, mengalir panas hingga ke seluruh tulang. Barangkali, jika dilahirkan dua kali, Surabaya telah mengambil peran sebagai tanah reinkarnasi.
Remaja tangguh kembali berjalan, membuktikan diri sebagai musafir kebal hambatan. Kini, Bandung jadi tujuan. Januari 2019, seseorang melayangkan pesan, mengirim pengakuan yang mengejutkan seisi ruangan. “Boleh tuliskan sebaris puisi? Aku pecandu sajak perjalananmu!” Tak lama, sepasang tangan berjabat di pelataran. Perempuan riang berjumpa remaja kebingungan.
Bandung-lah hilir segala, kunci dari paragraf perjalanan. Sebab, setahun kemudian pagebluk menyerang. Orang-orang ketakutan, dunia mencekam, ruh lari dari badan. Remaja jumawa memilih pulang, mendekam di dalam bangunan, memaksa kaki-tangan mengingat kematian. Konon, rumah membuatnya tenang. Sebuah rasa yang lama hilang.
Dua tahun sesudah, usianya senja, jejaknya kian sederhana. Wabah membawanya plesiran ke perjamuan keluarga, ke kabar tetangga, ke meja kerja, ke daun jendela, pintu musala, pameran seni rupa, dan ke hutan belantara yang memagari batas kota. Di sini dia berjalan, tersesat, jatuh, menangis, bangkit, tertawa, dan kembali berjalan. Di sini ia lahir, cemas, hilang, pulang, sekarat, mati, dan lahir kembali, berkali-kali.
Di sini, di Ternate.
•
Musik untuk tulisan ini:
Habanera — Great Tango Artist
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Tuhan Yang Mahaesa dan Keluarga.
4 Comments. Leave new
Selamat ulang tahun musafir dan penulis ulung.
Kurapal bait doa kebumi agar bahagia selalu
Semoga langit mendengar
Terima kasih, Fen. Sehat-sehat, ya. Panjang umur, kita berjumpa lagi. Janji.
Diksinya cadas.
Eh, ada Babe!