“Penumpang yang terhormat, kita telah mendarat di Bandar Udara Internasional Kualanamu, selamat datang di Medan! Untuk alasan keselamatan, mohon tetap duduk sampai pesawat berhenti dengan sempurna dan lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan.”
Terima kasih, tapi kami belum benar-benar tiba di Medan, sebab landasan ini masih terbentang di tanah Deli Serdang, sebuah kabupaten yang berada satu jam dari detak nadi Kesawan. Perjalanan ini adalah bagian dari rencana penculikan. Sebuah skenario yang disusun kurang dari 24 jam, yang melibatkan seorang pelaku perempuan dan lelaki kebingungan yang berperan sebagai korban.
Tiga hari lalu, Fréia mencegat saya di selasar ketibaan KLIA, Kuala Lumpur. Ia lantas memesan bus yang sama, duduk berdampingan, dan membuntuti seluruh agenda yang berlangsung di Melaka. “Pulang dari sini, kau harus ikut aku ke Medan, gak ada cerita!” Tanpa alasan, tanpa perlawanan.
Penerbangan terakhir membawa kami ke lokasi kejadian. Pukul satu pagi, sepasang senyum menyambut di bangsal kedatangan. Bapaknya menepis lelah, memandu kreta dari Belawan tengah malam. “Akhirnya ke sini juga ya, Nak!” Ibunya mengunci peluk sebagai salam selamat datang. Medan, sebuah nama yang mengendap lama di daftar harapan.
Satya mendeteksi kedatangan ini, sebuah janji dirangkai dengan segera. “Kutunggu kau besok malam di bilangan Ahmad Yani. Ada kedai bagus di sana, kau pasti suka!” Pesannya padat, singkat sekali. Fréia memberi restu, tapi dengan dua syarat. “Sarapan dulu bersama kami, sebelum kita ke makam si kawan besok pagi,” pintanya.
Di jalan yang tak begitu lebar, mobil-mobil berbaris paralel, identik sebagai kawasan paling populer. Namun, ini seperti kembali ke mesin waktu. Banyak bangunan tua mengapit tegak di segala arah. Saya mematuhi setiap patokan, lalu mendekat ke satu kedai yang paling mencolok. Arsitekturnya beraksen Eropa, ditutup kanopi merah dengan dinding warna turangga. Di sudut kanan, Satya bangkit dari sabarnya.
“Kau tahu, restoran ini masih menggunakan tungku kuno yang dibuat sejak tahun 1934! Semua kue dipanggang dengan kayu mahoni dari perkebunan pemiliknya.” Matanya berbinar, memancarkan kagum yang tak elok ditawar.
“Pesankan aku kue paling istimewa di sini, aku ingin makan tanpa perlu mengingat dan belajar. Kau tahu, kunjunganku ke Malaysia untuk menghadiri agenda tahunan yang membahas tentang Belanda dan sejarah rempah-rempah. Malam ini, izinkan aku merdeka. Mari membahas rencana besok siang, atau tentang Medan yang harus kukenali.” Saya memelas tajuk dari Satya yang keheranan.
Esoknya, sesuai ikrar dua hari lalu, Fréia menagih janji untuk pergi mencari pusara. Kami bergerak ke area pemakaman yang tak terawat. Mobil diparkir di bahu jalan agar terjangkau penglihatan. Ini pekerjaan sulit. Sepasang remaja mengandalkan memori 10 tahun silam, lantas mencari kenangan tua di satu pusara yang semuanya tampak serupa.
Fréia menarik ingatan, menerka-nerka, memanggil segala tanda yang masih kekal di kepala. Saya melepas sendal, melipat celana, menajamkan retina. Nihil. Lima, sepuluh, lima belas, hingga tiga puluh menit berlalu. Seorang pemuda bergerak mendekat, menuntut sisa dari segala yang diingat. Tak lama, sebuah nisan menjulang dari semak-semak yang merambat; Febriana Lestari, wafat 2009.
Namun, matahari sudah tinggi, cukup untuk mendidihkan darah di kepala Satya yang terlanjur menunggu. Tak ingin berlama-lama, saya bergegas ke pusat kota. Hari ini, Medan ingin dikenang sebagai perempatan tanpa mengalah, perang ego, dan pasar tumpah yang menjajakan rasa sabar dan hujatan.
Di balik Escudo antik yang merawat segala bangga, Satya melambai dari bibir Lapangan Merdeka. Siang ini dia menjadi tuan rumah sekaligus pemandu keliling kota. Kami bergeser ke halaman Istana, lalu berpindah ke dua universitas ternama, masjid raya, altar gereja, hingga berlutut di dalam vihara. Semua terjadi dalam kurun delapan jam saja! Medan yang rupa-rupa kini tenggelam dalam semangkuk mie kuah yang lezat. “Besok, sebelum kau pulang, kita harus sarapan bersama di kedai tua. Ada penganan khas yang perlu kau coba,” rayunya.

Masjid Raya Al-Mashun, Medan
Pukul enam pagi, hening berubah kalut. Fréia dilarikan ke rumah sakit. Mobil dipacu tanpa ragu, menerabas segala kusut yang tumpang-tindih di setiap tikungan. Insiden ini menyita dua jam tanpa suara. Saya bahkan tak sanggup memikirkan apa-apa. Hitam, gelap. Ibu-Bapak kebingungan, kami saling menguatkan. Tak lama ponsel bergertar, menampilkan nama sang juru selamat; Dokter Mawar.
“Aiya, saya harap kau bersedia membatalkan penerbanganmu sore nanti. Saya memerlukanmu untuk proses pemulihan ini. Peluangnya kecil sekali, kita sama-sama berusaha, ya.” Suaranya merendah, menunggu jawaban dari calon penumpang yang gagal berangkat. “Jangan khawatir, penerbanganku sudah selesai sejak dia sekarat, Dok.”
Pagi itu, Satya bangun dengan semangat yang menggebu-gebu. Perjamuan fajar akan berlangsung beberapa saat lagi, pikirnya. Namun, himpunan empati dilayangkan setelah kabar tiba di telinga. Perpisahan yang harusnya berlangsung di meja makan, kini berpindah di gerbang rumah sakit. “Kue ini kubeli sejak pagi tadi, makanlah. Besok aku ke Berastagi. Salam untuk Fréia, semoga dia lekas sembuh.” Mobilnya menjauh, menghapus Satya di episode ini.
Dua hari berlalu, tak ada lagi alat bantu, Fréia sudah pulih. Saya membujuknya turun dari ranjang dan mengajaknya berkeliling dengan kursi roda pinjaman. Dari kamar kami ke bangsal, ke taman, membahas cuaca, tanggal, fungsi-fungsi ruangan, hingga perkara gila yang membuatnya tertawa. “Besok aku harus ke Jakarta, urusanku sudah tertunda tiga hari,” saya memohon restu. Lehernya mengangguk lemah, ia setuju.
Bisa jadi, selain Satya dan Fréia, Medan memaksa diingat sebagai bandar tua berlapis busana Deli di selasar Istana, yang sudut kotanya menjajakan sup ikan, kukis durian, teh pecinan, serta bolu gulung andalan. Atau barangkali, Medan ingin dikenang sebagai tempat luar biasa yang merawat satu nama istimewa perihal pasal-pasal romansa. Jika benar, maka jelaslah, bahwa selain Fréia dan Satya, Medan adalah tentang dia, berhala jiwa, pelabuhan terakhir dari Marelan.
•
Musik untuk perjalanan ini:
Toba Dream — Viky Sianipar
Play on Spotify
•
Terima kasih:
Fréia Ramal, Satyananda Kusuma, Wahyu Pribadi, Shitaa Ram, Myzan Harahap.