Mobil berbaris patuh ketika kapal berlabuh. Dipimpin kawalan Polis Diraja, rombongan melaju meninggalkan dermaga, menuju pusat pemerintahan di bandar yang baru. Minaret menembus segara, menyapa manusia pencari surga. Kami berpencar untuk rakaat yang sakral, inilah Jumat yang menagih hening dari sekitar.
Jemaat membasuh lengan dan kaki, melarung debu, menuntut suci. Saat salam dikunci, kawanan bergeser ke selatan, menyantap hidangan, mendengar sambutan. Orang-orang kegirangan, termasuk pejabat yang menitipkan harapan. “Semoga Malaysia jadi persinggahan paling berkesan,” katanya.
Kami berderet di dalam ruangan, menanti nama-nama yang menjadi jawaban. Setengah jam berlalu, tak ada kepastian. Phout memanah pandangan, “Keluarga angkat kita ke mana?” Kawan-kawan telah pergi, meninggalkan dua pemuda yang kehilangan kendali.
Seorang pria melambaikan tangan, memberi isyarat, memanggil datang. Dadanya tegak menopang cemas, menimbang hati-hati dari lidahnya. “Kami menerima laporan jika keluarga kalian membatalkan kesepakatan. Silakan tunggu, komite segera menemukan pengganti.”
Ruangan kian lenggang, menyisakkan diam dan kekecewaan. Tak ada lagi harapan. Barangkali, jika memang demikian, pulangkan saja kami ke pelabuhan, kembali ke kapal yang tak menjanjikan kebohongan. Saya menunduk, mengeja nama yang menjadi bencana. “Berdoalah, semoga rumah kita bukan di jalanan,” Phout berkelakar membunuh kesedihan.
Siang berganti petang, meninggalkan terik menuju malam. Seorang perempuan bergerak mendekat, mengulurkan tangan sebagai juru selamat. “Ikutlah denganku! Kalian akan tinggal bersama dua peserta lain. Hari ini aku akan mengasuh 4 pemuda yang tinggi-tinggi.” Matanya hidup, tulus sekali.
Kami bergerak menuju rumah, meninggalkan Putrajaya dan penantian panjang. “Panggil aku Mama, dan ini Mokhtar Singh, suamiku. Panggil dia Papa!” Senyumnya mekar, serasi dengan selendang cerah yang menutupi pundaknya. Mobil dipandu dengan laju, menerabas gerimis, genangan air, dan persimpangan yang penuh gemuruh. Senandung mantra menyumbat telinga, mengiringi penyintas yang bertukar nama.
“I’m Pharot, from Thailand.”
“I’m Aiya, from Indonesia.”
“I’m Alex, from Vietnam.”
“I’m Phout, from Laos.”
Bangunan berlantai dua berdiri dengan teduhnya. Rumah ini memiliki 2 ruang tamu dan 4 kamar tidur yang luas. Bilik belakang dihuni oleh seorang asisten asal Kediri, namanya Kakak, perempuan kuat yang menetap 10 tahun di Malaysia. Selain saya, dialah satu-satunya saudara atas nama iman dan negara. Keluarga Singh adalah penganut Sikhisme, agama asli India yang baru sebesar embrio di Nusantara.
Mereka memiliki empat anak lelaki yang ramah-ramah. Malam itu, selain Kakak dan keluarga inti, kami juga disambut Mark, pemuda Manila yang tiba satu hari sebelumnya. Rumah mendadak gaduh oleh sebelas kepala yang berbicara banyak bahasa. Saya harus menggunakan Bahasa Inggris di dalam kamar, bahasa rojak (Melayu-Inggris) ketika bergurau dengan keluarga Singh, dan Bahasa Indonesia ketika berbicara dengan Kakak. Kemampuan ini mendaulat saya sebagai penerjemah tunggal.
Sejatinya, telah banyak tempat yang kami kunjungi, tetapi itu bukan esensi perjalanan ini. Berada di tengah keluarga harmonis, berbeda kultur, agama, dan bahasa sudah lebih dari cukup. Kenangan terbaik adalah ketika melepas kasut dan turut bersimpuh di dalam kuil, selebihnya hanyalah perkara destinasi dan narasi yang mudah dijumpai di negara kami. Malaysia adalah tentang satu keluarga yang pantang bersedih, yang mobilnya dipenuhi suara doa sepanjang hari.
Saat kunjungan ini selesai, saya datang kembali, tepat dua tahun setelah pita warna-warni diputus buritan kapal yang bergerak menjauh. Atas nama rasa sedih dan terima kasih, saya menyambungnya lagi. Pita itu kini berganti tali yang kami sebut sebagai hubungan silaturahmi. Namun, tak ada kapal dalam perjalanan ini. Kini, tenaga baling-baling telah ditukar rangkaian baja yang meliuk cepat di jalur layang.
Di pintu stasiun, Papa mencegat dengan matanya yang awas. Mama yang menunggu di rumah kini menyambut dengan peluknya yang basah, disusul Kakak dan jabat tangan penuh gembira. Isi kamar masih sama, menyisakkan Phout, Alex, dan Pharot dalam dimensi bayangan saja. Seperti biasa, Papa melontarkan canda, memadamkan lelah seketika. Pertemuan ini berlangsung satu malam, sebelum pesawat membawa saya kembali pulang.
Malaysia kali ini disulam oleh pagi yang lembab, anak anjing tersesat, susu panas, nasi lemak, kuah kari, Sungai Buloh, dan Mama yang mengaduk chapati hingga kalis. Bagaimanapun, jika dua tahun lalu sepasang nama asing tak membatalkan janji, saya tak akan bertemu keluarga ini. Begitupun jika dua tahun lalu seorang perempuan tak memaksa para pejabat, saya tak akan menulis perjalanan ini.
Shukria, Mama! Shukria, Papa!
Shukria, Malaysia!
•
Musik untuk perjalanan ini:
Om Jai Jagadish Hare — Indian Raga
Play on Youtube Music
•
Terima kasih:
Narinderpal Kaur, Mokhtar Singh, Peshminder Pall Singh, Prab Pall Singh, Phoutthavanh Sisavath, Pharot Tubkrai, Alex Tuấn Niê, Mark John Fabale
•
Kisah ini selesai ditulis pada Minggu (21/3/2021). Dua hari kemudian kabar datang dari Malaysia, Papa telah meninggal dunia. Atas nama seluruh kebaikan dan segala canda, semoga beliau tenang di surga. Istirahatlah dalam damai, rindu paling sungguh dari Indonesia.